Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Menteri Segala Urusan : Catatan Kelam Praktek Tata Kelola Pemerintahan di Era Presiden Jokowi

21 Juni 2025   13:01 Diperbarui: 24 Juni 2025   18:34 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan: Figur Sentral di Balik Kekuasaan

Dalam suatu sistem pemerintahan demokratis yang sehat, jabatan publik dibatasi oleh mandat konstitusional dan dikelola oleh mekanisme kelembagaan yang saling mengawasi dan bekerja secara kolektif. Namun, pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, kita menyaksikan satu gejala politik yang mencederai prinsip tersebut: hadirnya satu figur pejabat yang mengendalikan terlalu banyak urusan negara, dikenal luas sebagai “menteri segala urusan.”

Figur itu adalah Luhut Binsar Pandjaitan, seorang purnawirawan jenderal bintang empat yang pernah menjabat Komandan Paspampres, Dubes RI untuk Singapura, hingga Kepala Staf Kepresidenan. Kiprahnya tak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan kekuasaan Jokowi sendiri. Dalam dua kali pemilihan presiden (2014 dan 2019), Luhut memainkan peran penting sebagai strategis politik dan logistik, menjembatani Jokowi dengan berbagai kalangan elite, termasuk investor, kalangan militer, dan kelompok oligarki ekonomi.

Pada Pilpres 2014, ketika Jokowi masih dianggap sebagai “orang luar Jawa” dan belum sepenuhnya diterima oleh elite politik nasional, Luhut menjadi penjamin politik dan keamanan, yang membukakan jalan bagi koalisi dan kepercayaan investor dalam kampanye. Peran itu berlanjut bahkan lebih dalam di periode kedua. Setelah Jokowi terpilih kembali pada 2019, peran Luhut bukan hanya makin besar, tetapi juga mendekati absolut, menjangkau sektor-sektor strategis yang secara hukum seharusnya berada dalam domain kementerian lain.

Maka ketika publik menyebutnya sebagai “menteri segala urusan,” itu bukan sekadar ejekan atau sindiran, melainkan pengakuan terhadap realitas politik dan tata kelola pemerintahan yang telah menyimpang dari prinsip normatif. Julukan ini muncul dari pengamatan publik yang tajam terhadap praktik kekuasaan yang terlalu terpusat pada satu figur yang tidak pernah dipilih langsung oleh rakyat, tetapi berada dalam posisi superstrategis karena kedekatannya dengan presiden.

Apa yang terjadi kemudian bukanlah keefisienan pemerintahan, tetapi gejala konsentrasi kekuasaan yang menyimpang. Dalam banyak kebijakan negara, dari urusan tambang nikel, sawit, kereta cepat, pandemi, sampai transisi energi, nama Luhut selalu muncul di garis depan, bahkan melampaui peran Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Perdagangan, Menteri Kesehatan, Menteri BUMN, dan bahkan kadang Menteri Luar Negeri.

Julukan “menteri segala urusan” menjadi simbol dari kerusakan sistemik yang harus dikenang dan dicatat sebagai pelajaran sejarah, agar tidak diwariskan kepada generasi pemimpin berikutnya. Karena demokrasi yang sehat tidak boleh bergantung pada satu orang, sekuat atau secerdas apapun dia.

Ketika Fungsi Lembaga Dikooptasi oleh Figur

Secara formal, Luhut Binsar Pandjaitan adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves). Tapi dalam praktik, kekuasaannya melampaui sekat-sekat struktural yang diatur oleh konstitusi dan undang-undang. Dalam dirinya terkonsentrasi bukan hanya peran koordinatif antara-kementerian, melainkan juga fungsi pengambilan keputusan yang sangat dominan, seringkali bahkan lebih berpengaruh daripada presiden itu sendiri di mata publik dan investor asing.

Jejak Jabatan Publik Luhut: Dari Militer ke Lingkar Dalam Kekuasaan

Luhut bukan sosok baru di pemerintahan. Sebagai purnawirawan Jenderal TNI, ia pernah menjabat sebagai:

  • Komandan Paspampres (1995–1997), menjaga Presiden Soeharto.
  • Dubes RI untuk Singapura (1999–2000), sebagai penghubung diplomatik pascareformasi.
  • Menteri Perindustrian dan Perdagangan (2000–2001) di era Presiden Abdurrahman Wahid, namun hanya sebentar.
  • Kepala Staf Kepresidenan (2014–2015) di periode awal Presiden Jokowi.
  • Menko Polhukam (2015–2016), menggantikan Tedjo Edhi.
  • Menko Kemaritiman (2016–2019) yang kemudian diperluas menjadi Menko Kemaritiman dan Investasi hingga hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun