Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Manusia yang Fana Ingin Hidup Kekal?

15 Juni 2025   01:09 Diperbarui: 15 Juni 2025   01:09 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Jawaban.com)

Mengapa Manusia yang Fana Ingin Hidup Kekal?

Pengantar

Manusia tahu bahwa ia akan mati. Ia menyaksikan tubuhnya menua, orang yang dicintainya berpulang, dan dunia terus berubah tanpa henti. Namun anehnya, di tengah kefanaan yang tak terelakkan, manusia justru memelihara kerinduan mendalam untuk tetap hidup, jika perlu, selamanya.

Ia membangun monumen agar namanya dikenang, menulis buku dan karya seni agar pikirannya tetap hidup setelah tubuhnya lenyap. Dalam era digital, ia menyimpan data dirinya, menciptakan avatar, menulis postingan dan unggahan seolah sedang berkata: "jangan lupakan aku, biarlah aku tetap ada walau tak lagi hadir." Manusia bahkan berinovasi dalam sains dan teknologi untuk memperpanjang usia, memperlambat penuaan, bahkan mencari kemungkinan hidup abadi secara biologis maupun digital.

Pertanyaannya sederhana tapi mendalam:

Mengapa makhluk yang sadar bahwa ia akan mati, justru bermimpi hidup kekal?
Dari mana datangnya rasa keabadian itu? Apakah ia sekadar ilusi, atau justru petunjuk akan tujuan yang lebih besar?

Pertanyaan ini bukan hanya teologis, tapi juga eksistensial dan fenomenologis. Ia menyentuh inti kesadaran manusia, bahwa kita bukan hanya makhluk yang hidup, tapi juga makhluk yang bertanya tentang arti hidup. Dan dari pertanyaan itu muncul kerinduan, bahwa hidup ini tidak boleh berakhir sia-sia.

1. Eksistensial: Kesadaran Akan Mati Melahirkan Hasrat Akan Abadi

Dalam pendekatan eksistensial, manusia bukan hanya makhluk yang hidup, tetapi makhluk yang menyadari bahwa ia hidup, dan akan mati. Kesadaran ini melahirkan paradoks besar: meski tahu hidupnya terbatas, manusia justru mendambakan sesuatu yang tak terbatas. Martin Heidegger, dalam karyanya Sein und Zeit (Being and Time), menyatakan bahwa manusia adalah Dasein, "ada yang menyadari ke-adaannya". Dan yang paling membedakan Dasein adalah bahwa ia hidup dalam mode being-toward-death, ada menuju kematian.

Heidegger menekankan bahwa kesadaran akan kematian bukanlah ancaman belaka, tetapi justru pemicu eksistensial yang paling murni:

"Kematian bukan sekadar fakta biologis, tapi struktur batin terdalam eksistensi manusia."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun