Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gerobak dan Sebuah Dompet

22 Mei 2025   21:25 Diperbarui: 22 Mei 2025   21:25 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gerobak dan Sebuah Dompet

Darto mendorong gerobaknya pelan. Bukan karena pasar sedang sepi, tapi lutut kirinya sering nyeri mendadak. Sisa-sisa tenaga sebagai buruh pelabuhan masih membekas di punggung yang sudah mulai membungkuk. Sesekali ia menarik napas panjang, seperti hendak mengangkat beban dunia dari dadanya.

"Ayah... Adi demam lagi," suara Marni lirih pagi tadi, sambil menyeka keringat dingin anak bungsu mereka.

Darto hanya mengangguk. Tak ada kata yang sanggup keluar. Mulutnya kering oleh kenyataan: uang di dompet hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi, dan itupun pinjaman dari tetangga yang sudah enggan tersenyum tiap melihatnya lewat.

Yanti, anak sulung mereka, sudah pergi lebih dulu pagi itu. Dengan pikulan kecil dan senyum dipaksakan, ia berjalan keliling menjajakan pisang goreng.

"Ayah doakan, Nak... semoga laku semua," ucap Darto dalam hati. Ia terlalu malu untuk mendoakannya dengan suara keras.

------

Hari itu pasar ramai. Langkah-langkah bergegas, teriakan pedagang bersahut-sahutan. Darto berdiri mematung di pojok, menunggu orang yang butuh jasa dorongan gerobak. Seorang wanita paruh baya baru saja selesai belanja dan bergegas pergi. Di tempat dia berdiri, tersisa sesuatu yang mencolok: sebuah dompet merah.

Darto melihat ke sekeliling. Tak ada yang memperhatikan. Ia ragu. Tangannya hendak memungut, tapi mundur. Lalu mengambil. Membuka pelan. Di dalamnya ada uang. Banyak.

"Ini cukup... cukup buat bawa Adi ke dokter. Mungkin bahkan bisa bayar kontrakan satu bulan. Mungkin juga... nasi buat malam ini."

Tapi sebelum pikirannya selesai menyusun kemungkinan, teriakan memecah keramaian:

"Copet! Itu dompet ibu tadi! Dia ambil!"

Darto terpaku. Mulutnya terbuka, ingin menjelaskan. Tapi tangan-tangan menghantam lebih cepat dari suara. Satu tendangan mengenai perutnya. Tinju lainnya mendarat di wajahnya. Ia jatuh, mencoba bangkit, tapi tak mampu.

Darah mengalir dari pelipis. Dunia mulai gelap. Dalam sekarat itu, ponselnya bergetar di saku celana. SMS masuk.

"Pak, Adi makin panas. Tolong bawa beras juga. Kita sudah habis makan sejak tadi pagi. ---Marni"

"Pak! Pak! Ini orang bukan copet! Dia pingsan! Dia cuma ambil dompet jatuh!" suara lain terdengar di tengah kerumunan.

Yono, tukang sayur yang sudah lama kenal Darto, menerobos kerumunan. "Saya kenal orang ini! Dia bukan copet! Dia tiap hari dorong gerobak!"

Yono membaca SMS di HP Darto yang masih terbuka. Hatinya trenyuh. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat tubuh Darto ke becak sayurnya, lalu melaju ke puskesmas terdekat. Setelah itu, ia mampir ke toko beras, membeli lima liter beras dan sekantong plastik obat penurun panas.

Di rumah kontrakan itu, Marni menyambutnya dengan mata sembab.

"Saya Yono, Bu. Pak Darto pingsan... dipukuli orang karena salah paham. Tapi saya sudah bawa dia ke puskesmas. Ini, Pak Darto ada titip beras dan obat turun panas."

Marni menangis, tubuhnya gemetar. "Yaahhh Gusti .... trima kasih,  masih ada orang kecil yang baik hati ..."

Yono tersenyum kecil. "Dunia ini kejam, Bu. Tapi kadang, masih ada sisa-sisa cahaya. Jangan padamkan itu, ya."

---------

Darto siuman malam itu, masih lemas. Dokter bilang, tubuhnya kelelahan dan tekanan darahnya turun drastis. Tapi ia hidup.

Ia menatap Yono yang duduk di sudut ruangan. "Terima kasih, Mas Yono, saya... saya tak tahu bagaimana membalas..."

Yono menepuk bahunya. "Sudah, Mas. Saya cuma manusia. Sama seperti Mas Darto... yang hanya ingin menyelamatkan anaknya."

Darto menatap langit-langit. Air matanya menetes. Dunia boleh saja menghantamnya berkali-kali. Tapi malam itu, ia tahu: masih ada harapan, meski kecil, harapan sangat berarti.  Dan harapan itu... cukup untuk membuatnya bertahan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun