Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Kadal Licik yang Haus Kekuasaan

22 April 2025   09:44 Diperbarui: 22 April 2025   09:54 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Kreasi Pribadi)

Si Kadal Licik yang Haus Kekuasaan

Sang Kadal Licik tidak pernah melupakan bahwa ia dulu hanyalah penghuni tanah lembab di balik batu. Ia bukan siapa-siapa, seekor kecil bersisik yang nyaris tak terlihat di hutan luas yang penuh persaingan. Namun ia pandai menjilat dan mencium bau kuasa dari jauh. Ketika Sang Banteng datang dengan kekuatan dan wibawa, Kadal cepat-cepat menempel seperti benalu. Banteng yang berhati mulia tidak menyadari bahaya dari mulut kecil yang selalu manis itu. Sedikit demi sedikit, Sang Kadal mulai menebar hasutan pada tikus-tikus dan serangga untuk mencurigai Sang Banteng. Dengan racun fitnah dan intrik, ia meracuni tanah pijakan Banteng hingga akhirnya Banteng terpeleset dan jatuh ke jurang. Kadal pun naik ke singgasana, tanpa pernah mengucap terima kasih, hanya tersenyum licik di bawah sinar bulan.

Sang Kadal Licik tidak pernah puas meski sudah mencicipi kekuasaan yang bukan haknya. Ia tahu dirinya tak cukup kuat untuk terbang, tapi ingin menjatuhkan siapa pun yang terbang lebih tinggi darinya. Kini Sang Garuda yang gagah dan kuat, menjadi sasarannya yang baru. Kadal tidak menyerang langsung, melainkan menyusup bagai kabut, menyelinap tanpa suara ke dalam lingkar kekuasaan Garuda. Ia pura-pura setia, pura-pura mengangguk setiap perintah, tapi hatinya penuh racun. Diam-diam, ia menyusupkan anaknya ke dalam istana langit milik Garuda. Anak kadal yang tampaknya jinak ternyata diwarisi ambisi dan kelicikan ayahnya. Ia bergerak lincah, membisikkan strategi jahat kepada burung-burung yang mulai goyah kesetiaannya. Semua itu bagian dari rencana besar merebut mahkota Garuda.

Sang Kadal Licik tidak pernah percaya pada hukum, karena hukum baginya hanyalah daun kering yang mudah diinjak. Di hutan yang tak lagi punya penjaga, ia bebas membuat aturan sendiri yang menguntungkan dirinya. Ia merawat para tikus-tikus rakus dengan penuh kasih, memberi mereka tempat di pohon-pohon buah yang dulu dijaga bersama. Kini pohon itu meranggas, buahnya habis digerogoti para tikus peliharaan. Si Kadal hanya tertawa melihat kelaparan binatang lain, sambil menyantap hasil rampokan para tikus. Ketika ada yang bersuara, ia tuduh mereka pengacau, bahkan diusir dari hutan dengan berbagai tipu daya. Ia menempatkan para kadal muda di posisi penting, agar jaringan liciknya makin kuat. Segalanya untuk memastikan mahkota kekuasaan tidak pernah lepas dari cengkeramannya.

Sang Kadal Licik tidak pernah segan mengorbankan siapa saja, termasuk teman-teman lamanya. Ia pernah bersumpah setia pada Sang Rusa Penjaga Padang, namun tak segan memfitnahnya saat rusa itu menentang penebangan pohon liar. Ia pernah memeluk erat Sang Monyet Bijak, tapi membiarkannya dipenjara karena menyuarakan keadilan. Ia memang kecil, tapi penuh siasat seperti ular, mematuk di saat yang tak terduga. Ia tahu cara membuat kerusuhan lalu datang sebagai penengah, agar tampak sebagai penyelamat. Padahal semua kekacauan itu lahir dari ide-idenya yang busuk. Setiap suara kritis dianggapnya ancaman bagi stabilitas hutan, dan ia bangun tembok informasi palsu untuk menutupi kebusukannya. Ia tidak punya malu, tidak pula belas kasihan. Kekuasaan adalah candu yang membuatnya lupa bahwa suatu saat tanah pun bisa menelan yang paling licik sekalipun.

Sang Kadal Licik tidak pernah berhenti menyusun langkah-langkah tersembunyi di balik senyumnya. Ia hadir di pertemuan-pertemuan besar, berbicara manis seolah berpihak pada rakyat hutan. Tapi di belakang layar, ia sibuk menyusun jebakan bagi burung elang dan kijang muda yang mulai populer. Ia tahu siapa yang harus dijatuhkan, siapa yang perlu dipuji semu, dan siapa yang bisa dijadikan pion. Ia tidak butuh kepercayaan, ia hanya butuh kendali. Setiap gerakannya dipoles dengan narasi palsu yang disebarkan lewat kupu-kupu berita. Hutan pun jadi bising dengan kebingungan, tak tahu mana fakta, mana jebakan. Itulah keahlian sang Kadal: menciptakan kekacauan agar dia bisa berdiri tenang di tengah badai. Ia ingin semua tunduk bukan karena hormat, tapi karena takut.

Sang Kadal Licik tidak pernah menganggap penghuni hutan sebagai sesama yang setara. Baginya, mereka hanyalah angka, suara, atau hambatan yang harus disingkirkan. Ia tidak peduli pada nyanyian burung kecil atau tangisan bayi rakun yang kehilangan tempat tinggal. Ia hanya peduli pada peta kekuasaan, siapa duduk di mana, dan siapa mengatur apa. Dalam hatinya, hutan bukanlah rumah bersama, tapi arena perburuan kekal. Ia mengajar anak-anaknya cara memanjat, bukan dengan kemampuan, tapi dengan menjilat. Mereka belajar membungkam, bukan berdialog. Mereka dibentuk jadi bayangan sang kadal, kelak untuk merampas singgasana Garuda. Dan jika berhasil, hutan pun akan dikuasai oleh para penjilat tanpa nurani.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun