Keuangan: termasuk deteksi fraud, credit scoring berbasis data alternatif, dan personalisasi layanan perbankan.
Administrasi publik: otomatisasi layanan birokrasi, chatbot pelayanan masyarakat, dan sistem pengawasan korupsi berbasis algoritma.
Namun, tanpa kebijakan akseleratif, potensi ekonomi ini bisa tak tergarap dan hanya dinikmati oleh korporasi asing yang mengisi kekosongan inovasi lokal.
2. Bonus Demografi: Talenta Muda, Tapi Minim Dukungan
Indonesia memiliki lebih dari 60 juta generasi muda usia produktif (15–35 tahun) yang melek teknologi dan adaptif terhadap tren digital. Inilah peluang luar biasa untuk mencetak talenta AI nasional. Namun, saat ini:
Kurikulum pendidikan tinggi masih konvensional. Hanya sebagian kecil universitas yang menawarkan program studi atau mata kuliah khusus AI secara terstruktur.
Riset mahasiswa jarang difasilitasi dengan infrastruktur komputasi modern, padahal model AI modern seperti NLP (Natural Language Processing) dan deep learning membutuhkan daya komputasi tinggi.
Brain drain masih terjadi, banyak talenta AI Indonesia yang bekerja di luar negeri karena ekosistem dalam negeri belum kondusif.
Tanpa intervensi negara, bonus demografi ini justru berisiko berubah menjadi beban struktural dan kehilangan momentum emas.
3. Infrastruktur Riset Masih Timpang
Pengembangan AI tidak bisa lepas dari infrastruktur keras seperti: