Tanggal 2 Mei bukan sekadar seremoni nasional. Ia adalah peringatan tentang ruh pendidikan sebagai pembebas dan pembentuk. Di balik hiruk pikuk kebijakan dan tuntutan administratif, pendidikan sejatinya adalah perjuangan sunyi. Dan dalam perjuangan itu, Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum hadir sebagai pondasi utama pembentukan karakter bangsa.
Di tengah derasnya arus globalisasi, liberalisasi nilai, dan gempuran budaya instan, peran guru PAI menjadi lebih dari sekadar pengajar mata pelajaran. Guru PAI adalah penjaga akidah, penjaga adab, dan pembimbing spiritual di ruang-ruang kelas yang penuh tantangan. Tidak ada tugas yang lebih berat namun juga lebih mulia daripada mendidik hati dalam sistem yang sering kali hanya mengukur kepala.
Dalam posisi sebagai pengawas PAI sekaligus ketua Pokjawas PAI Kemenag Kabupaten Jombang, amanah yang diemban bukan hanya soal memantau administrasi atau laporan mingguan. Lebih dari itu, pengawasan adalah proses pembinaan, penguatan, dan transformasi. Menjadi pengawas berarti menjadi mata yang awas, telinga yang peka, dan tangan yang siap menuntun. Pengawas bukan menakut-nakuti, melainkan menghidupkan semangat. Bukan mencari kesalahan, melainkan menemukan potensi.
Guru PAI: Mujahid yang Bekerja dalam Diam
Guru PAI bukan penyampai teori. Ia adalah role model. Ia adalah ruh yang menyusup dalam keseharian siswa. Satu sikap guru PAI bisa lebih berdampak daripada sepuluh bab buku. Ketika guru PAI menunjukkan adab, kelembutan, dan konsistensi antara lisan dan perbuatan, murid akan belajar bukan hanya dengan telinga, tetapi dengan mata dan hati.
Di sekolah umum, guru PAI sering dianggap pelengkap. Jadwalnya sering digeser. Ruangnya sempit. Prioritasnya rendah. Tapi justru di sinilah guru PAI diuji untuk tetap memberi makna. Ketika siswa mulai mempertanyakan agama dengan logika, saat konten media sosial menggerus nilai, guru PAI harus hadir bukan dengan dogma, tapi dengan dialog. Bukan dengan hukuman, tetapi dengan pelukan intelektual dan spiritual.
Guru PAI adalah pembentuk masa depan yang tidak kasat mata. Ketika seorang siswa memilih berkata jujur, menundukkan pandangan, atau memaafkan temannya, di situlah keberhasilan guru PAI sedang tumbuh, meski tidak tercatat dalam rapor.
Kepala Sekolah: Penentu Ruang Bagi Nilai
Kepala sekolah bukan hanya manajer akademik. Ia adalah penentu atmosfer. Jika kepala sekolah memberi ruang yang adil bagi guru PAI, maka pendidikan karakter akan bernapas. Tetapi jika kepala sekolah menempatkan PAI sebagai beban kurikulum, maka sekolah hanya akan melahirkan lulusan yang pandai, tetapi kering nilai.
PAI bukan mata pelajaran biasa. Ia adalah napas yang menjiwai semua pelajaran. Ketika guru Matematika mengajarkan kejujuran dalam ujian, ketika guru IPA mengajak kagum pada ciptaan Allah, ketika guru Bahasa mengajak menulis dengan adab. Di situlah PAI sedang hidup. Kepala sekolah punya peran strategis untuk menjadikan seluruh sekolah sebagai ladang nilai, bukan sekadar pabrik nilai ujian.
Kepala sekolah di sekolah umum harus memahami bahwa pendidikan tidak netral. Ia selalu membentuk arah. Jika nilai-nilai Islam tidak diberi ruang, maka nilai-nilai lain yang akan mengambil alih. Sekolah bukan ruang kosong. Ia akan terisi oleh apa yang dibiarkan.
Siswa Sekolah Umum: Generasi Digital yang Butuh Pegangan
Siswa hari ini hidup dalam dunia yang tidak sederhana. Mereka mengakses lebih banyak informasi dalam satu hari dibanding kakek-nenek mereka dalam seumur hidup. Tetapi yang banyak belum tentu yang benar. Yang cepat belum tentu yang tepat. Mereka butuh pegangan, bukan ceramah. Mereka butuh inspirasi, bukan indoktrinasi.
PAI di sekolah umum harus menjawab tantangan zaman. Jangan biarkan siswa belajar Islam dari TikTok dan YouTube semata. Berikan mereka ruang bertanya, ruang berdialog, dan ruang berproses. Jangan takut ketika mereka mempertanyakan takdir, jilbab, atau bahkan keberadaan Tuhan. Itu bukan tanda kehilangan iman, tapi proses pencarian. Tugas guru PAI adalah menemani pencarian itu dengan bijak, bukan mematikan dengan vonis.
Siswa bukan hanya murid. Mereka adalah calon pemimpin. Jika hari ini mereka diajak mengenal kejujuran, tanggung jawab, dan cinta sesama atas dasar iman, maka lima atau sepuluh tahun lagi mereka akan menjadi pemimpin yang adil dan bijak. Siswa bukan kertas kosong, tapi ladang subur. Jika tidak ditanami nilai, maka akan ditumbuhi gulma zaman.
Pokjawas: Bukan Sekadar Forum, Tapi Gerakan
Kelompok Kerja Pengawas (Pokjawas) PAI Kabupaten Jombang bukan sekadar wadah formalitas. Ia adalah simpul kekuatan. Pokjawas adalah ruang untuk saling belajar, saling menguatkan, dan menyusun strategi besar demi kemajuan pendidikan PAI.
Pengawas tidak boleh berhenti pada kontrol. Ia harus naik kelas menjadi agen transformasi. Bukan hanya mengecek RPP, tetapi ikut merancang pelatihan guru. Bukan hanya memeriksa nilai, tetapi memfasilitasi pengembangan karakter. Bukan hanya hadir saat supervisi, tetapi hadir dalam kehidupan nyata guru-guru di sekolah.
Pokjawas harus menjadi garda depan dalam membela keberadaan PAI di sekolah umum. Jangan biarkan guru PAI bekerja sendiri. Jangan biarkan mereka dilupakan dalam prioritas pembangunan pendidikan. Suara pengawas adalah suara kebijakan. Ketika pengawas bersuara dengan data, empati, dan keberanian, maka perubahan akan terjadi.
Tiga Kata Kunci: Sinergi, Spiritualitas, dan Strategi
Untuk mengawal keberlangsungan dan kemajuan PAI di sekolah umum, ada tiga hal mendasar yang harus dijaga dan diperkuat:
1. Sinergi. PAI tidak bisa berjalan sendiri. Ia harus menjadi bagian dari ekosistem sekolah. Sinergi antara guru, kepala sekolah, komite, bahkan wali murid adalah kunci. Guru PAI harus aktif membangun komunikasi. Kepala sekolah harus membuka ruang. Pengawas harus menjembatani.
2. Spiritualitas. PAI bukan sekadar materi. Ia adalah pengalaman spiritual. Maka guru PAI harus menjaga ruh-nya. Ia harus rajin mengaji, berdoa, dan menata niat. Pendidikan agama yang disampaikan tanpa ruh akan menjadi kosong. Tetapi ketika ruh itu hadir, maka setiap kata akan hidup.
3. Strategi. Zaman berubah. Maka strategi juga harus berubah. PAI harus disampaikan dengan pendekatan kontekstual, digital, dan humanis. Gunakan media sosial untuk menyampaikan nilai. Ajak siswa membuat proyek-proyek berbasis nilai Islam. Libatkan mereka dalam kegiatan sosial. Biarkan Islam menjadi pengalaman, bukan sekadar hafalan.
Pendidikan Agama Islam bukan beban. Ia adalah anugerah. Dan semua yang terlibat di dalamnya adalah penjaga anugerah itu. Mulai dari guru, kepala sekolah, pengawas, hingga siswa. Jangan remehkan satu kelas PAI di sela pelajaran eksakta. Jangan sepelekan satu sesi tadarus atau diskusi keagamaan. Sebab bisa jadi dari satu pertemuan itulah lahir hidayah. Dari satu diskusi itulah tumbuh kesadaran. Dan dari satu guru itulah lahir perubahan.
Di tengah tantangan zaman, jangan mengeluh. Justru saatnya menyalakan obor. Bukan menunggu ruang diberikan, tetapi menciptakan ruang. Bukan menunggu perhatian, tetapi menumbuhkan keteladanan. PAI di sekolah umum adalah jantung pendidikan karakter. Selama jantung itu berdetak, selama itu pula bangsa ini masih punya harapan.
Jayalah pendidikan agama Islam! Tegaklah para guru PAI! Bangkitlah sekolah umum dengan nilai-nilai luhur Islam! Dari Jombang, kita terus bergerak. Dengan ilmu, dengan iman, dan dengan cinta.
Mamik Rosita (Ketua Pokjawas PAI Kemenag Jombang)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI