Makan bergizi dan minum susu gratis merupakan program unggulan Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumi Raka. Program spekakuler ini, kini menjadi trending topic. Pasalnya, banyak pihak menyangsikan bahwa program ini akan sangat sulit direalisasikan jika menggunakan produksi domestik. Sebagaimana diketahui bahwa perkembangan produksi daging (sapi/kerbau) dan susu di negeri ini sangat memprihatinan. Produksi susu segar dalam negeri (SSDN) baru mampu berkontribusi 18 %, dan produksi daging sapi kontribusinya menurun dari 70%, kini hanya sekitar 58 % terhadap kebutuhan nasional. Populasi Sapi menyusut tajam dari 18,6 juta ekor kini hanya tinggal 11,3 juta ekor. Dengan kata lain komoditi Daging dan Susu ketergantungannya terhadap impor semakin membesar. Sehingga, jika dilaksankan secara normatif dikhawatirkan program ini hanya akan dinikmati oleh peternak asing di luar negeri, bukan oleh peternak kita di dalam negeri.
Peluang dan Tantangan
Program makan bergizi dan minum susu gratis, sebagai program unggulan telah ditetapkan anggarannya, sebesar Rp. 71 trilyun. Penetapan ini, merupakan peluang bagi pengembangan peternakan domestik. Hal ini disebabkan bahwa komoditi daging (sapi/kerbau) dan susu dihasilkan oleh peternak rakyat di perdesaan. Program ini merupakan pasar potensial sekaligus merupakan kepastian pasar yang diciptakan pemerintah, dengan nilai yang cukup fantastik. Jika saja ceruk pasar ini diberikan kepada peternak rakyat, diyakini akan berdampak luas terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di perdesaan.
Namun, disisi lainnya program ini merupakan tantangan bagi industry peternakan di dalam negeri. Hal ini disebabkan kinerja pembangunan peternakan selama puluhan tahun, belum mampu memenuhi target yang diharapkan. Padahal sebagai negara agraris, negeri ini memiliki potensi sumber daya alam maupun sumberdaya genetik ternak yang mumpuni. Berkenaan dengan terbukanya ceruk pasar daging dan susu, kiranya diperlukan strategi khusus dalam menghadapinya. Strategi yang diperlukan, harus dibedakan dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Program jangka panjang, dampaknya harus dinikmati oleh peternak di dalam negeri.
Prinsip program jangka pendek, tujuan utamanya memenuhi janji Presiden dalam satu - dua tahun pertama. Pada kasus ini, ketersediaan bahan baku impor (daging/susu) sangat diperlukan. Pasalnya tanpa bahan baku impor, janji tersebut mustahil akan terealisasi. Prinsip jangka menengah, tujuan utamanya adalah merevitaliasi sumberdaya ternak dan SDM peternak pengelolanya dalam kerangka melanjutkan program tersebut yang berbasis produksi domestik. Sehingga di akhir jabatan presiden minimal 50 % produk domestik (daging/susu) akan gunakan sebagai bahan baku program ini. Selanjutnya, program jangka panjang bertujuan bahwa produksi domestik menjadi tuan rumah di negerinya. Artinya kebutuhan daging/susu dapat dipenuhi oleh produk peternak di dalam negeri.
Implemtasi Program
Dalam upaya mengimplementasikan program ini, pemerintah akan menghadapi berbagai kendala yang harus diubah menjadikan iklim usaha yang kondusif. Beberapa kendala yang teridentifikasi adalah sebagai berikut;
Pertama : Harmonisasi kebijakan yang kontra produktif. Misalnya tentang kelembagaan; Dinas Petenakan di sentra produksi ternak, mutlak diperlukan secara mandiri tidak digabung dengan Dinas teknis lainnya. Konsekuensi dari kebijakan ini, adalah ketersediaan SDM profesi peternakan dengan anggaran yang memadai. Hal ini diperlukan, mengingat Otonomi Daerah akan mengubah kebijakan pemerintah pusat yang terfiltrasi di daerah. Pasalnya, tanggung jawab kepala Dinas Peternakan di daerah bukan lagi kepada Pemerintah Pusat tapi kepada Pemerintah Daerah. Selain itu kabijakan pengembangan integrasi sapi dengan Perkebunan Kelapa Sawit maupun pengembangan sapi di lahan pasca tambang harus segera ditetapkan sebagai program prioritas nasional.
Harmonisasi kebijakan lain yang akan sangat mendukung adalah menetapkan susu sebagai komoditi Bahan Pokok Penting (Bapokting) bagi pembangunan sumberdaya manusia. Tanpa kibijakan ini, akan sulit merealiasi program mengonsumsi susu gratis bagi masyarakat. Harmonisasi kabijakan komoditi lainnya harus dilakukan mulai dari UU No. 18/2009 Jo. UU 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan serta kebijakan turunannya. Sambil menunggu proses harmonisasi kebjakan yang akan memakan waktu, Pemerintah dapat mengeluarkan Instruksi Presiden atau Keputusan Presiden. Misalnya, tentang kebijakan Dinas Peternakan Mandiri di sentra produsen ternak, integrasi sapi sawit, pemanfaatan lahan pasca tambang, Pengembangan SSDN dan Pengembangan Sapi Pedaging.
Kedua : dalam menunjang kebijakan jangka pendek, para pelaku bisnis seharusnya terinformasikan berapa sesungguhnya alokasi biaya senilai Rp. 71 Trilyun, bagi masing-masing sub sector atau bagi pengembangan komoditi. Informasi ini, sangat diperlukan bagi para peternak/pelaku bisnis dalam melakukan investasi/kepastian usahanya. Khususnya bagi keberlajutan usaha para peternak ruminansia, diperlukan pula kepastian ketersediaan vaksin PMK dan LSD yang selama ini tersendat operasionalisasinya.
Ketiga : program ini perlu pengawalan yang intensif secara profesional. Caranya program ini harus terhindar dari kepentingan politik praktis, artinya implementasinya berbasis kepada hasil analisis akademik. Keterlibatan asosiasi akademi keilmuan dan asosiasi bangsa sapi menjadi penting bagi keberlanjutan proram ini. Pengawalan program dilakukan dengan membuat “peta jalan ketersediaan daging dan susu” sebagai acuan dasar bagi program pendampingan dalam jangka panjang .
Rekonstruksi
Program makan bergizi dan minum susu gratis yang akan menelan biaya Rp. 71 trilyun, merupakan kegiatan spektakuler. Program ini, merupakan momentum yang sangat tepat untuk melakukan “rekonstruksi” terhadap pembangunan peternakan nasional. Pasalnya, kegagalan pencapaian target pembangunan merupakan bukti nyata yang tak terbantahkan. Kondisi inilah yang perlu segera dibenahi.
Rekonstruksi diawali dengan mengubah pola pikir kebijakan, yang selama ini berorientasi pada “ketersediaannya dengan harga murah” menjadi “harga terjangkau, produksi meningkat dan peternak sejahtera” secara berkelanjutan. Rekonstruksi pola pikir ini akan menentukan langkah rekonstruksi pembangunan peternakan berbasis pada korporasi yang efisien disegala bidang.
Opini Kompas, 18 Juli 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI