Mohon tunggu...
RSID
RSID Mohon Tunggu... ‎

‎

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sunyi

4 Oktober 2025   20:07 Diperbarui: 4 Oktober 2025   20:07 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Mathias Reding: https://www.pexels.com/id-id/foto/orang-yang-kesepian-berdiri-di-tepi-pantai-4394073/ 

Senja merambat perlahan, dan aku duduk di tepi jendela, memandang langit yang kehilangan warna yang pernah kita bagi. Ada sesuatu yang runtuh dalam diriku, sebuah gema dari percakapan yang dulu mengisi ruang, kini tinggal serpih-serpih yang tak lagi sanggup kurangkai.

Kau, yang pernah menjadi rumah bagi segala langkahku, kini menjauh, berdiri di sudut waktu yang tak bisa kukejar. Aku tahu, ada yang telah lepas dari genggaman kita, bukan sekadar janji, melainkan rasa yang dulu membuat kita bertahan di tengah badai.

Mungkin memang beginilah caranya Tuhan mengajar. Ia menyatukan dua jiwa bukan selalu untuk selamanya, melainkan agar kita mengerti arti rindu, arti kebersamaan, dan arti perpisahan. Ia membiarkan kita merasakan indahnya memiliki, juga pedihnya kehilangan, agar kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita sanggup mengulang luka yang sama, atau justru belajar darinya untuk tak jatuh di tempat yang serupa?

Namun kita terlalu sibuk dengan ego. Tak ada yang mau mengalah, dan luka pun tumbuh tanpa kita sadari. Kita masih saling mencintai, itu benar, tetapi cinta yang dipenjara oleh keangkuhan hanya akan menjadi belati yang semakin dalam menusuk kita. Dan akhirnya, dengan segala yang masih menggantung, kita memilih berjalan sendiri-sendiri, berharap perpisahan ini menjadi jalan untuk saling belajar, saling menundukkan hati, agar suatu hari, jika takdir berbaik hati, kita bisa kembali utuh.

Keheningan pun mengambil alih. Bahkan detak jam terdengar lebih lantang daripada kata-kata yang tak lagi kita temukan. Perpisahan, kata yang dulu kita hindari, kini menjadi bahasa yang tanpa sadar kita ucapkan bersama.

Aku ingin berkata, "Tetaplah." Tapi bibirku membeku, karena aku tahu, mencintai juga berarti rela melepas. Tidak semua cinta dimaksudkan untuk bertahan, sebagian lahir hanya untuk kita kenang.

Malam ini, aku menaruhmu dalam diam. Kau melangkah pergi, dan sejak saat itu, kita bukan lagi kita. Hanya ada doa samar yang tertinggal, semoga jarak yang memisahkan kini menjadi jalan untuk kita kembali lebih baik, meski tanpa harus kembali bersama.

Yang tersisa hanyalah sunyi yang tumbuh di antara kita, menutup ruang yang dulu dipenuhi tawa. Dan aku, sendirian, belajar menerima bahwa tidak semua pertemuan diciptakan untuk selamanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun