Mohon tunggu...
rr wahyuni
rr wahyuni Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dampak Positif Sebuah Konflik

17 Desember 2018   08:51 Diperbarui: 17 Desember 2018   08:56 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) melakukan kunjungan kerja guna meminjau program pemberdayaan masyarakat budi daya ikan kerapu ke Pulau Pramuka di Kepulauan Seribu pada Selasa, 27 September 2016. Aktivitas tersebut diunggah melalui akun Youtube pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kemudian pada Kamis, 6 Oktober 2016 beredar video dengan judul 'Penistaan Terhadap Agama?' yang diunggah pertama kali oleh seorang netizen bernama Buni Yani yang mana video tersebut lebih menunjukkan pernyataan Ahok yang di dalamnya terdapat unsur penistaan terhadap agama Islam.

Singkat kata, video tersebut ditonton oleh masyarakat luas, berbagai media mengabarkan berbagai respon yang muncul dari masyarakat karena video tersebut. Tak sedikit umat Islam yang merasa terlecehkan akibat pernyataan Ahok, mereka merasa agamanya sedang dihina. Ormas-ormas Islam di Indonesia pun mengambil tindakan dengan mengirimkan pengaduan kepada pihak berwenang, dalam hal ini kepolisian agar segera menindaklanjuti pernyataan Ahok dalam video tersebut.

Setelah beredarnya video tersebut, Ahok sendiri mengambil sikap berupa meminta maaf kepada masyarakat atas perbuatannya. Beberapa tokoh agama Islam menerima permohonan maafnya namun menyatakan bahwa proses hukum harus tetap berjalan dan mendesak agar kasus Ahok ini segera ditangani.

Sejarah mencatat bahwa pada Jumat, 2 Desember 2016 di Jakarta telah terjadi Aksi 2 Desember yang kemudian disebut sebagai Aksi 212 dan Aksi Bela Islam III. Ribuan masa melakukan reaksi atas pernyataan Ahok yang dianggap menistakan agama dalam suatu kesempatan ketika melakukan kunjungan kerja ke Kepulauan Seribu. Setelah sebelumnya pada tanggal 14 Oktober 2016 dilakukan Aksi Bela Islam I yang berupa unjuk rasa dimana masa yang mayoritas adalah anggota ormas Islam dengan akomodasi FPI menuntut agar penyidikan terhadap Ahok segera dilakukan dan pada 4 November 2016 diadakan Aksi Bela Islam II masih dengan tuntutan yang sama dengan dihadiri masa yang lebih banyak serta terdapat diskusi dengan Menkopolhukam Wiranto dan Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla untuk melakukan konsolidasi guna menemukan jalan keluar terkait kasus penistaan agama yang melibatkan Ahok.

Pernyataan Ahok yang memicu konflik antara masyarakat tertentu dan dirinya sebagai tokoh masyarakat tersebut membuat penulis berusaha melihat kasus ini dari kacamata Sosiologis, menggunakan teori Fungsionalisme Konflik milik Lewis A. Coser yang dipaparkan dalam bukunya yang berjudul "The Function of Social Conflict" (1956). 

Dalam bukunya, Coser berusaha menjelaskan bahwa tidak selamanya sebuah konflik memiliki sifat destruktif dan menyebabkan disfungsi, sebaliknya konflik dapat bersifat konstruktif dan membuat struktur baru, dengan kata lain konflik dapat membuat suatu perubahan sosial. Perubahan sosial sendiri merupakan konsekuensi dari adanya gerakan sosial. Maka konflik sosial dapat menyebabkan gerakan yang dilakukan bersama-sama demi adanya perubahan.

Dalam hal ini, pernyataan Ahok telah menimbulkan konflik yang mana dicirikan dengan adanya suatu pertentangan, baik antara Ahok sendiri, pihak yang menganggap perbuatannya bukan merupakan penistaan, pihak yang menginginkan kasusnya segera diusut dan menganggap aparat lamban, hingga pihak yang secara terang-terangan menganggap bahwa Ahok adalah musuh bersama umat Islam karena penyataannya tersebut. Seiring dengan adanya pertentangan tersebut, juga terdapat instrumen pembentukan, penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial sehingga konflik tersebut dapat memperkuat dan melindungi kembali identitas masing-masing pihak.

Menguatnya identitas masing-masing pihak dengan tuntutannya tersebut merupakan konflik realistis dimana dicirikan dengan adanya rasa frustasi atas tuntutan khusus dalam sebuah relasi dan konflik akan berhenti jika aktor pada akhirnya dikabulkan tuntutannya atau mendapatkan hasil akhir yang menurutnya memuaskan. 

Konflik tersebut kemudian memunculkan suatu katup penyelamat. Katup penyelamat ini merupakan suatu mekanisme yang digunakan oleh Coser untuk meredam dan mempertahankan pihak-pihak di dalam konflik sosial. Dengan kata lain, katup penyelamat tersebut dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang melakukan mediasi antar pihak yang berkonflik. Dalam kasus ini, gerakan sosial Aksi Damai 212 dapat disebut sebagai katup penyelamat.

Aksi Damai 212 menyediakan jalan yang "damai", dalam artian Aksi Damai 212 mampu meredam konflik. Seperti yang diberitakan oleh media bahwa dalam Aksi Damai 212 memiliki rangkaian kegiatan ibadah sholat berjamaah dan bersholawat, aksi tersebut secara tidak langsung juga menunjukkan fungsi agama dalam masyarakat dimana dengan diadakannya ritual keagamaan yang sifatnya komunal maka masyarakat akan merasa terikat satu sama lain secara emosional sehingga nilai "kedamaian" dalam Aksi Damai 212 tersebut terinstitusionalisasi ke dalam masing-masing individu sehingga menimbulkan sebuah nilai bersama yang kembali lagi menurut Coser hal tersebut merupakan penguatan dan persatuan identitas dalam hal ini umat Islam sebagai akibat positif dari adanya konflik sosial.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun