Mohon tunggu...
Ronald Roger Rohrohmana
Ronald Roger Rohrohmana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Opini yang ditulis dalam laman Kompasiana ini adalah semata-mata opini penulis dan/ atau para penulis dan tidak mewakili sikap atau pendapat organisasi atau institusi atau perusahaan yang berkaitan dengan penulis dan/ atau para penulis baik secara langsung maupun tidak langsung.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menelusuri Kompleksitas Konflik Papua: Mengenali Akar Masalah dan Solusi

12 Juli 2023   08:15 Diperbarui: 12 Juli 2023   08:21 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Papua, provinsi paling timur Indonesia, telah menjadi pusat perselisihan dan persengketaan selama beberapa dekade. Konflik yang terus menerus terjadi telah menimbulkan banyak masalah, termasuk kerusuhan yang terus berlanjut, pelanggaran hak asasi manusia, rasisme, dan kesenjangan sosial-ekonomi, di antaranya. Kompleksitas ini baru-baru ini digarisbawahi oleh penculikan yang mengkhawatirkan terhadap pilot Selandia Baru Philip Mehrtens oleh TPNPB, sebuah cabang dari Gerakan Papua Merdeka. Situasi penyanderaan ini semakin menekankan perlunya pendekatan yang komprehensif dan bernuansa terhadap masalah Papua.

Di bawah bayang-bayang situasi penyanderaan yang menyedihkan dan warisan konflik yang tak kunjung usai, Setara Institute, sebuah organisasi hak asasi manusia terkemuka di Indonesia, baru-baru ini menyuarakan kritiknya terhadap cara pandang Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap situasi di Papua. Presiden telah mempertahankan pandangan yang menyiratkan bahwa masalah-masalah di Papua sering kali dibesar-besarkan di luar kenyataan, dan lebih banyak menyoroti sisi-sisi positif dari wilayah tersebut, seperti semangat kaum muda dan keamanan yang relatif lebih baik.

Setara Institute, melalui Ketua Dewan Nasionalnya, Hendardi, menanggapi pandangan tersebut dengan menyanggah pandangan tersebut dengan menyatakan bahwa persepsi Jokowi seolah-olah meremehkan kondisi gejolak yang sering terjadi di Papua sebagai sesuatu yang tidak perlu menjadi perhatian negara. Lembaga ini menekankan bahwa cara pandang seperti itu telah berkontribusi pada mandeknya penyelesaian masalah Papua di bawah kepemimpinan Jokowi, bahkan ketika pemerintahannya mendekati akhir masa jabatannya yang kedua.

Kritik Setara, yang mewakili sebagian besar opini publik, menyatakan bahwa tantangan yang dihadapi Papua bukanlah isu yang dibesar-besarkan, melainkan sangat serius. Kesulitan-kesulitan ini lebih dari sekadar masalah keamanan, yang terwujud dalam lingkaran setan kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, rasisme yang merajalela, dan stigmatisasi. Mereka berpendapat bahwa isu-isu ini merupakan pengingat bahwa situasi di Papua tidaklah 'baik-baik saja', seperti yang dikatakan oleh pemerintah.

Lebih lanjut, lembaga tersebut menegaskan bahwa perspektif ini hanya memperkuat kritik publik terhadap Presiden Jokowi dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto atas ketidakmampuan, atau keengganan, mereka untuk menangani masalah Papua secara holistik. Mereka menyoroti tidak adanya dialog antara Jakarta dan Papua serta kurangnya fokus pada paradigma keamanan yang berpusat pada manusia, yang memprioritaskan perlindungan manusia.

Oleh karena itu, kritik Setara Institute terhadap pendekatan pemerintah terhadap Papua menuntut adanya evaluasi ulang yang segera dan menyeluruh terhadap strategi negara saat ini. Hal ini termasuk menghadapi realitas pelanggaran hak asasi manusia dan kesenjangan sosial-ekonomi, serta mengatasi ketidakadilan historis yang mengakar yang terus menyulut api konflik di Papua. Ini adalah tantangan-tantangan yang kompleks dan mengakar yang membutuhkan perhatian serius dan segera dari pemerintah, berlawanan dengan narasi yang mengatakan bahwa ini adalah 'masalah kecil yang dibesar-besarkan'.

Kritik terhadap cara pandang Presiden Jokowi, seperti yang diungkapkan oleh Setara Institute dan digaungkan oleh sebagian besar opini publik, berakar pada permadani yang kaya akan dinamika historis dan sosio-politik yang kompleks yang terus membentuk konflik di Papua.

Inti dari masalah ini adalah integrasi Papua ke dalam Indonesia pada tahun 1960-an, sebuah proses yang penuh dengan kontroversi dan tuduhan manipulasi, yang masih terngiang dalam ingatan kolektif masyarakat Papua. Selama periode ini, Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) dilaksanakan, yang berujung pada penggabungan Papua secara resmi ke dalam Indonesia. Namun, keabsahan proses ini telah diperdebatkan selama bertahun-tahun, dengan adanya klaim pemaksaan dan kurangnya representasi yang tulus bagi masyarakat adat Papua. Peristiwa ini menciptakan keretakan yang mendasar, menumbuhkan rasa keterasingan dan penindasan yang terus memicu konflik dan perlawanan hingga hari ini.

Selain itu, dinamika sosial-politik yang terjadi setelah integrasi Papua semakin memperparah rasa ketidakpuasan ini. Kebijakan-kebijakan yang dianggap diskriminatif oleh penduduk asli Papua, dugaan pelanggaran hak asasi manusia, dan eksploitasi ekonomi yang dirasakan telah menanamkan rasa ketidakadilan yang mendalam dalam masyarakat Papua. Pendekatan keamanan yang terus berlanjut dan konflik bersenjata, seperti situasi penyanderaan yang melibatkan pilot Selandia Baru Philip Mehrtens, semakin merenggangkan kepercayaan antara masyarakat Papua dan pemerintah Indonesia, dan menggarisbawahi perlunya transformasi konflik yang mendesak.

Ingatan kolektif dari pengalaman-pengalaman ini, yang diwariskan dari generasi ke generasi, telah membentuk narasi penindasan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah Indonesia di kalangan masyarakat Papua. Ingatan ini bukan hanya gema masa lalu; ingatan ini mempengaruhi sikap saat ini, memicu ketidakpuasan, dan menyuburkan siklus konflik.

Oleh karena itu, pendekatan apapun untuk menyelesaikan konflik di Papua yang tidak mengakui sejarah ini dan mengatasi sentimen yang ada di antara orang Papua berisiko gagal. Untuk itu, diperlukan pemahaman tentang ketidakadilan sejarah, dinamika sosial-politik, dan ingatan kolektif masyarakat Papua untuk menciptakan solusi yang efektif dan berkelanjutan yang tidak hanya menyelesaikan gejala-gejala yang ada, tetapi juga mengatasi akar penyebab konflik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun