Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gaji Sudah Besar Mengapa Masih Korupsi?

11 November 2021   21:59 Diperbarui: 12 November 2021   07:43 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: learningandcreativity.com  

Hari ini media masa dan berita di dunia maya dihiasi oleh berita dijadikannya tersangka 2 pegawai pajak oleh KPK.

Jika dilihat level jabatannya posisi tersangka lumayan tinggi yang tentunya merefleksikan pendapatannya yang juga tinggi.

Sejak diberlakukannya remunerasi di Kementerian Keuangan, level gaji di kementrian ini tampak jelas (jauh) lebih tinggi jika dibandingkan dengan gaji di kementrian lain.

Pertanyaan yang paling mendasar, mengapa dengan gaji yang sudah tinggi itu masih belum menjamin seseorang fokus pada pekerjaan dan tanggungjawabnya dan tidak melakukan korupsi?

Padahal  salah satu tujuan pemberian insentif yang lebih di Kementerian Keuangan adalah untuk membuat pegawainya fokus pada pekerjaan karena gajinya dianggap sudah sangat layak untuk standar Indonesia.

Tertanggapnya 2 orang pegawai pajak tersebut bukanlah yang pertama kali, namun sebelumnya sudah beberapa pegawai kementerian ini bermasalah dengan hukum karena terkait dengan korupsi.

Kejadian ini menurut pemberitaan Kompas membuat Anggota Komisi XI DPR RI Misbakhun "menyentil" Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk mengevaluasi total kinerja dan pengawasan yang selama ini diberlakukan di kementerian yang dipimpinnya.

Ditinjau dari segi psikologi korupsi, paling tidak ada dua  faktor utama yang melatar belakangi seseorang melakukan tindakan korupsi.

Faktor pertama adalah sifat serakah yang dimiliki oleh pelaku korupsi. Pelaku korupsi walaupun telah diberi imbalan yang sangat layak dalam bentuk gaji dan tunjangan namun tetap saja melakukan korupsi karena selalu ada perasaan tidak puas terhadap apa yang telah didapatnya.

Biasanya dengan semakin meningkatnya pendapatan seseorang akan disertai dengan peningkatan kualitas gaya hidup dan selera.

Jika dulunya merasa cukup puas minum kopi tubruk  di warung, maka sekarang minum kopi harus di Caf yang ternama yang tentunya harganya berkali lipat dibandingkan dengan di warung kopi.

Tuntutan gaya hidup yang semakin meningkat inilah yang membuat tambahan penghasilan yang didapatnya akan semakin tergerus pengeluaran yang semakin besar  juga.

Ibarat candu, meningkatnya pendapatan seolah harus diikuti dengan peningkatan gaya hidup.  Kondisi seperti inilah yang membuat walaupun seseorang mendapat penghasilan yang sangat layak selalu merasa kurang akibat tuntutan pengeluaran yang lebih besar.

Faktor kedua menurut pakar psikologi yang mendorong seseorang melakukan korupsi adalah rasa percaya diri yang berlebihan.

Rasa percaya diri yang berlebihan ini membuat dirinya merasa sebagai orang "penting" yang selalu haus akan kekayaan.

Jika kekayaan tersebut dicari melalui cara yang halal tentunya tidak akan menjadi masalah.  Namun sayangnya sering kali faktor kedua ini mendorong seseorang terperangkap pada situasi untuk mendapatkan kekayaan dengan cara apapun.

Tidak hanya sampai disini saja rasa percaya diri yang berlebihan ini terkadang ditambah dengan  anggapan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan tidak akan ketahuan.

Kalaupun suatu saat ketahuan,  orang ini masih percaya bahwa konsekuensi hukum yang akan diterima akan ringan.

Hal yang lebih mengkhawatirkan apabila korupsi ini sudah berubah menjadi budaya yang membuat seseorang memiliki simpati dan menjadi bagian dari kelompok yang melakukan korupsi.

Solidaritas yang tumbuh ini memang sangat berbahaya karena akan menumbuhkan rasa  kesetiakawanan dengan cara saling menutupi dan juga menutup mulut walaupun dirinya tau tindakan korupsi sedang berlangsung.

Jika kita tengok kilas balik sejarah maka kita akan menemukan fakta bahwa tindakan dan budaya korupsi bukanlah sesuatu yang baru.

Praktek korupsi telah terjadi sudah lama sekali seperti misalnya yang tercatat di jaman romawi kuno dan kekaisaran Tiongkok kuno.

Sejarah juga mencatat bahwa budaya korupsi inilah mengakibatkan kekaisaran Romawi yang sempat berjaya menguasai dunia akhirnya runtuh tidak tersisa.

Demikian juga halnya yang terjadi di Tingkok.  Kombinasi intrik kelompok dan korupsi membuat beberapa kekaisaran runtuh.

Tidakan korupsi tentu saja tidak terlepas dari sifat ketidakjujuran yang mendorong seseorang melakukan tindakan korupsi.

Korupsi biasanya akan  tumbuh dan berkembang dengan subur jika  lingkungan dimana individu yang melakukan korupsi tersebut berada  mendukung.

Apapun alasannya yang jelas tindakan korupsi sangat erat kaitannya dengan moralitas seseorang.

Berdasarkan hasil penelitian ternyata teori tradisional yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi adalah motivasi ternyata tidak sepenuhnya valid.

Ternyata disamping motivasi sebagai faktor pemicu ada faktor lain yang berkontribusi besar, yaitu pengaruh psikologis haus akan kekuasaan, kepentingan pribadi, pengendalian diri, rasionalisasi, dan emosi yang membuat seseorang memiliki kecenderungan untuk melakukan korupsi.

Teori korupsi yang ada menunjukkan bahwa seseorang yang memegang kekuasaan lebih cenderung untuk melakukan tindakan korupsi.

Menurut Dupuy  dan Neset dalam bukunya yang berjudul  The cognitive psychology of corruption yang diterbitkan tahun 2018,   biasanya seseorang melakukan tindakan korupsi ketika dirinya tidak dapat mengontrol dirinya akibat dipengaruhi oleh kepentingan pribadinya yang lebih  menonjol.

Dalam situasi seperti ini sangat memungkinkan seseorang yang melakukan tindakan korupsi berpendapat bahwa tindakan yang dilakukannya tidak akan menimbulkan kerugian yang besar.

Rasionalisasi seperti inilah yang membuat pelaku korupsi berpendapat bahwa tidakan korupsi yang dilakukannya walaupun dirnya menyadari bahwa tindakannya salah,  namun dirinya masih beranggapan bahwa tindakannya masih dapat diterima.

Menurut pakar psikologi "rasa bersalah" memang dapat saja mengurangi dan membuat seseorang tidak melakukan tindakan korupsi.

Apapun alasannya, yang jelas tindakan korupsi bukan hanya merupakan tindakan penyimpangan terhadap norma yang berlaku namun juga merupakan kelainan psikologi yang jika tidak  dikendalikan tidak saja akan merusak kejiwaan pelaku namun juga merusak tatanan sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun