Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sleeping with The Enemy: Arab Spring Gelombang Kedua yang Tidak Terbendung

9 Desember 2020   09:53 Diperbarui: 10 Desember 2020   19:53 1036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
UEA dan Bahrain mebuka hubungan diplomatik dengan Israel di akhir bulan September 2020 lalu. Photo: AP Photo/Alex Brandon

Negara yang berada di kawasan Timur Tengah memang memiliki sejarah dan akar budaya yang sangat unik. 

Arab Spring gelombang pertama yang pada intinya menuntut perubahan, kekebasan berpendapat dan demokrasi yang melanda kawasan ini telah mengubah peta demokrasi dan sistem pemerintahan di kawasan ini.

Banyak pimpinan diktator yang bercokol dalam kurun waktu yang sangat lama di kawasan ini tumbang satu per satu. Arab Spring ini menjadi pemicu perubahan sistem pemerintahan yang menuju ke situasi yang lebih demokratis.

Jika dulu melakukan protes dan demonstrasi dapat merujung pada melayangnya nyata atau dipenjara dalam waktu yang sangat lama, kini hal ini sudah menjadi bagian keseharian.

Namun tampaknya gelombang Arab Spring terus berlanjut karena tidak saja terjadi menyentuh isu dalam negara yang berada di kawasan ini, namun juga mulai menyentuh sikap dan kebijakan politik luar negerinya.

Dalam kurun waktu beberapa bulan ini sudah beberapa negara melakukan langkah nyata melakukan hubungan resmi dengan musuh bebuyutan negara di kawasan ini yaitu Israel.

Sebagai gambaran dari sebanyak 193 negara anggota PBB, sebanyak 162 negara (84%) mengakui keberadaan negara Israel dan sebanyak 138 negara (72%) mengakui keberadaan negara Palestina.

Jika dulu melakukan hubungan resmi dengan Israel merupakan sesuatu yang tabu atas pertimbangan solidaritas kawasan dan Palestina, maka situasinya kini anggapan ini berubah drastis.

Kini negara di kawasan ini seolah belomba membuka hubungan diplomatiknya dengan Israel. Sebagai contoh beberapa bulain ini ada dua negara lagi yaitu United Arab Emirates (UAE) dan Bahrain yang membuka hubungan diplomatiknya dengan Israel.

Gelombang kedua Arab Spring ini memang tidak dapat dipisahkan dengan peran Donald Trump yang akan segera lengser sebagai presiden Amerika.

Jika kita buka lembaran sejarah maka kita harus jujur bahwa Donald Trump adalah presiden Amerika tersukses yang mengakurkan negara Arab dengan Istrael.

Trump memang memiliki pengalaman politik internasional yang sangat minim, namun melalui pendekatan sederhana, yaitu ekonomi dan keamanan, atau yang dikenal sebagai Middle East peace plan ini Trump berhasil membuka visi negara di kawasan ini bahwa bersahabat dengan musuh itu juga merupakan salah satu opsi penyelesaian konflik di kawasan ini.

Isu Palestina memang masih merupakan isu sentral di kawasan ini, namun tampaknya baik Trump, Israel dan negara di kawasan ini memandang bahwa isu ekonomi dan keamanan di kawasan juga merupakan kunci kestabilan.

Melalui pendekatan ini baik Israel maupun Amerika bermain cantik untuk mengurangi pengaruh Iran sekaligus mengucilkannya di kawasan ini.

Arab Spring gelombang kedua ini memang membuat Palestina meradang dan menganggap bahwa negara negara di Timur Tengah mulai meninggalkan Palestina. 

Jika sebelum gelombang ini datang apapun yang terkait dengan Palestina akan didukung atas dasar solidaritas negara kawasan, namun kini ada sudut pandang lain yang juga dapat ditempuh untuk meredakan ketegangan politik di kawasan ini.

Secara perlahan namun pasti diperkirakan akan lebih banyak lagi negara di kawasan ini yang akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel.

Tampaknya negara di kawasan ini sudah mulai belajar bahwa kebijakan memusuhi Israel dan tidak memutuskan memiliki hubungan diplomatik dengan Israel paling tidak sejak tahun 1967 belum berhasil membawa kedamaian di kawasan ini.

Dengan posisi tetap mendukung kemerdekaan Palestina sekaligus melakukan hubungan diplomatik dengan Israel, negara di kawasan ini memiliki peluang lebih besar untuk meraih keuntungan bagi negaranya yang selama ini tidak didapatkannya karena hubungan diplomatik dengan Israel merupakan pintu masuk menuju bargaining politik dan masa depan perekonomian yang lebih baik ketika bermitra dengan negara barat.

Diperkirakan pilihan untuk tetap mendukung kemerdekaan Palestina dan membuka hubungan diplomatik dengan Israel akan memberikan keseimbangan politik dan keamanan baru di kawasan ini.

Jika kita buka lembaran sejarah, sebelumnya hanya ada dua negara saja yang secara resmi melakukan perjanjian damai dengan Israel, yaitu Mesir di tahun 1979 dan Jordania di tahun 1994 lalu.

Di era tahun 1990an atas inisiatif Amerika, Palestine Liberation Organization (PLO) dan Israel telah menandatangai kesepakan damai yang dikenal dengan Oslo Accords. Namun dalam perjalanannya jalan panjang bergelombang mewarnai hubungan Israel dan Pelestina dan tidak jarang gejolak ini menimbulkan korban jiwa.

Di awal gelombang kedua Arab Spring memang tampak sekali keengganan negara negara di kawasan ini untuk mempublikasikan hubungan diplomatik nya dengan Israel. Hal ini dapat dimengerti karena sebelum era ini memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dianggap sebagai aib dan sikap tidak mendukung kemerdekaan Palestina.

Sampai saat ini Arab Saudi, UEA, Bahrain, Oman, Sudan, Kuwait, Qatar, dan Algeria telah secara terbuka menyatakan membuka hubungan diplomatik dengan Israel dalam berbagai bentuk hubungan internasionalnya.

Gelombang kedua Arab Spring ini memang tidak dapat dibendung lagi, karena Trump secara terbuka menyatakan akan ada 5 negara lagi yang akan membuka hubungan diplomatiknya dengan Israel.

Negara di kawasan Timur Tengah yang telah membuka hubungan diplomatik dengan Israel ini menyatakan tetap berkomitmen untuk meminta Israel menarik diri dari wilayah pendudukan yang diperolehnya di perang tahun 1967, namun sekaligus melakukan mengambil kebijakan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel.

Melalui era dan sikap baru ini tampaknya negara di kawasan ini yang telah melakukan normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel akan lebih mudah untuk melakukan diplomasi langsung dengan Israel untuk mendikusiskan kepentingan bersamanya dan juga stabilitas di kawasan Timur Tengah ini.

Bagi Israel gelombang pembukaan hubungan diplomatik dengan negara negara di kawasan Timur Tengah in akan menjadi era baru yaitu mengakhiri isolasi yang selama ini dialaminya, sekaligus meningkatkan keamanan negaranya.

Pembukaan hubungan diplomatik antara Israel dengan negara negara di kawasan Timur Tengah ini tentunya tidak saja akan bermanfaat dari segi keamanan dan ekonomi, namun juga sektor lain seperti pendidikan dan penelitian serta kerjasama teknologi.

Sebagai gambaran, sejak kemerdekaan Israel di tahun 1948 haluan poltik negara negara di Timur Tengah pada umumnya menentang keberadaan negara Israel dan mendukung kemerdekaan Palestina. 

Haluan politik ini menyebabkan tidak terjadinya arus pertukaran kerjasama ilmiah, pertukaran ilmuwan dan juga teknologi karena umumnya negara negara di kawasan ini melarang warga negara Israel untuk memasuki negaranya dan juga sebaliknya.

Kerjasama yang diperkirakan akan tumbuh subur dengan dibukanya hubungan diplomatik ini adalah teknologi Artificial Intelligence, pertanian, keamanan dan kecukupan air, energi, desalinisasi air laut dan ilmu lainnya terkait bagaimana menaklukkan kerasnya gurun pasir untuk kemasalahan umat manusia.

Zaman dan arus politik memang telah berubah. Gelombang kedua Arab Spring kini tidak lagi dapat dibendung. Selamat datang era baru di Timur Tengah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun