Pendahuluan
Kemampuan berbicara di depan umum atau public speaking merupakan keterampilan yang seharusnya melekat pada setiap pejabat publik. Hal ini bukan semata-mata karena posisi mereka yang sering tampil di hadapan masyarakat, tetapi juga karena komunikasi adalah instrumen utama dalam menyampaikan pesan, membangun kepercayaan, dan menggerakkan partisipasi publik. Namun, dalam kenyataannya, banyak pejabat di Indonesia yang masih belum memiliki keterampilan komunikasi publik yang memadai. Fenomena ini memunculkan krisis komunikasi yang kian mengkhawatirkan, bahkan berdampak serius pada turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pejabat maupun lembaga negara.
Public Speaking sebagai Cermin Kepemimpinan
Public speaking bukan sekadar seni berbicara, melainkan cerminan kualitas kepemimpinan seseorang. Seorang pemimpin yang mampu berkomunikasi dengan jelas, tegas, namun tetap rendah hati akan lebih mudah diterima oleh masyarakat. Pesan yang disampaikan dengan bahasa sederhana, disertai empati, akan menumbuhkan kedekatan emosional antara pemimpin dan rakyat.
Sebaliknya, gaya komunikasi yang terbata-bata, penuh jargon, atau terkesan meremehkan persoalan rakyat akan menimbulkan jarak psikologis antara pejabat dan masyarakat. Tidak jarang, publik kemudian menilai pejabat tersebut kurang kompeten, padahal bisa jadi kebijakan yang ia miliki sebenarnya cukup baik. Dengan demikian, kualitas public speaking secara langsung memengaruhi citra, legitimasi, serta kredibilitas pejabat di mata rakyat.
Krisis Public Speaking Pejabat di Indonesia
Fenomena lemahnya kemampuan berbicara pejabat publik sudah lama menjadi sorotan. Tidak sedikit pernyataan pejabat yang justru menimbulkan kontroversi, salah tafsir, bahkan kemarahan publik. Contoh yang sering terjadi adalah penggunaan istilah yang tidak dipahami masyarakat awam, pilihan kata yang tidak sensitif terhadap kondisi rakyat, atau jawaban yang berputar-putar tanpa inti.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan krisis public speaking di kalangan pejabat, antara lain:
Kurangnya pelatihan komunikasi publik. Banyak pejabat naik ke posisi strategis karena latar belakang politik atau birokrasi, bukan karena kapasitas komunikasi.
Ego jabatan. Sebagian pejabat merasa cukup dengan posisi formal yang mereka miliki, sehingga meremehkan keterampilan komunikasi.
Minimnya peran humas atau juru bicara. Tidak semua pejabat memiliki tim komunikasi yang profesional untuk membantu menyusun pesan publik dengan baik.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!