Karl Marx, nama yang menggetarkan sejarah dunia sebagai bapak Komunisme, sering diingat melalui karya monumentalnya seperti Das Kapital dan Manifesto Komunis. Â Namun, dibalik sosok revolusioner berdarah dingin dan kritis ini, tersembunyi kisah manusia biasa, seorang suami yang romantis, ayah yang penyayang, dan aktivis yang gigih meski diterpa kemiskinan dan pengasingan. Inilah sisi personal Marx yang jarang tersentuh, narasi tentang cinta, kehilangan, dan ketangguhan yang membentuk jalan pemikirannya.Â
Cinta di Tengah Badai Revolusi
Jenny von Westphalen, perempuan bangsawan Prusia yang cerdas dan berpendidikan, adalah "wanita tercantik di Trier" dan gadis yang diidam-idamkan banyak  pria. Namun, ia memilih Marx, pemuda Yahudi yang miskin dan radikal. Pernikahan mereka yang terjadi pada tahun 1843, bukan hanya pemberontakan terhadap norma kelas, tetapi juga suatu pertaruhan hidup. Keluarga Jenny marah,ayahnya, Baron Ludwig von Westphalen, meski menghormati Marx, meragukan masa depan mereka.
Bagi Marx, Jenny bukan sekedar sebagai istri, ia juga menjadi mitra intelektual yang membantunya berdiskusi tentang sastra, filsafat, dan politik. Surat-surat Marx kepada Jenny dipenuhi diskusi tentang Hegel, Feurbach, dan puisi Goethe. Dalam pengasingan di Paris (1843-1845), Jenny membantu Marx menulis The Holy Family bahkan menyumbang kritik tajam terhadap Bruno Bauer. Di tengah tekanan finansial pun Jenny tetap setia. Suatu kali, Marx menulis kepada Engels "Tanpamu, aku mungkin telah gila. Tapi tanpa Jenny, aku tak akan pernah memulai perjuangan ini". Marx juga mengakui bahwa tanpa Jenny, tulisan-tulisannya  hanyalahn reruntuhan tanpa jiwa.Â
Seorang Ayah yang Rapuh
Marx dan Jenny dikaruniai tujuh anak, tetapi hanya tiga yang bertahan hidup hingga dewasa. Kematian anak-anak tercinta menjadi luka terdalamnya. Dalam suratnya, Marx menggambarkan duka itu sebagai "lubang hitam yang menelan seluruh cahaya hidupku". Meskipun sibuk menulis, ia selalu menyisakan waktu untuk anak-anaknya. Putri bungsunya, Eleanor, mengenang bagaimana Marx membacakan cerita Shakespare atau Don Quixote sebelum tidur, sembari mengajarkan nilai-nilai perlawanan terhadap ketidakadilan.Â
Eleanor sendiri kelak menjadi aktivis feminis dan sosialis, warisan langsung dari didikan ayahnya. Namun, Marx bukanlah figur yang sempurna. Keterlibatannya dalam politik acap kali membuatnya absen secara emosional. Jenny sempat mengeluh dalam surat kepada temannya: "Karl terkadang lebih mencintai manusianya daripada manusia nyata di sekitarnya.Â
Pengabdian dan Pengorbanan
Hidup seorang Marx adalah gambaran nyata dari pertarungan kelas yang ia teorikan. Keluarganya tinggal di kawasan kumuh Soho, London, bertahan hidup dengan kentang dan roti basi. Â Marx sendiri sering sakit akibat kerja keras dan malnutrisi. Namun, ia tak pernah berputus asa.Â
Bersama Friederich Engels, sahabat sekaligus penyokong finansialnya, Marx menghabiskan waktu di British Museum untuk meneliti sistem kapitalisme, sembari menulis artikel yang membakar semangat para buruh di seluruh Eropa. Perjuangannya tidak hanya melawan rezim, tetapi juga kritik dan konflik dari internal. Perselisihan dengan sesama revolusionis seperti Mikhail Bakunin cukup menguras tenaga dan pikirannya. Namun, tekadnya tetap membara. Dalam sebuah pidato di hadapan Asosiasi Buruh Internasional pada 1864, ia berujar: "Sejarah tidak akan berubah oleh kata-kata, tapi oleh tangan-tangan yang bekerja".Â
Tahun-tahun Terakhir & Kematian Marx
Kesehatannya semakin memburuk saat ia tinggal di London. Kondisi Marx semakin diperparah dengan meninggalnya sang istri pada Desember 1881. Meskipun demikian, Marx tetap aktif secara intelektual hingga akhirnya meninggal pada tanggal 14 Maret 1883 di London, dalam usia 64 tahun.Â
Kematian Marx disebabkan oleh bronkitis dan radang selaput dada, kondisi yang telah ia atasi selama beberapa tahun. Berita kematiannya ditangisi oleh para sosialis dan buruh di seluruh dunia. Â
Entah berapa tuduhan yang telah dilayangkan kepada Marx, mulai dari inspirator kediktatoran, kemiskinan massal, hingga pembunuhan jutaan manusia. Segala cap itu juga disematkan tanpa menimbang gagasan-gagasan Marx lainnya yang mengilhami delapan jam kerja, hak berserikat, libur akhir pekan, jaminan kesehatan, larangan mengeksploitasi anak, akses pendidikan publik, hingga antikolonialisme, yang hari ini kita anggap suatu hal yang lumrah.Â
Suatu hari Eleanor kecil bertanya kepada sang bapak "Apa yang membuatmu bahagia?" jawaban Karl Marx singkat, "Berjuang". Dunia ini, seperti yang pernah ditulis Jenny, memang milik orang-orang nekat.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI