Mohon tunggu...
roy paty
roy paty Mohon Tunggu... -

Pekerja usaha mandiri, peduli pada masalah sosial, tinggal di Ambon Maniseee...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dulu, Bung Karno Bisa ‘Memaksa’ Amerika Berunding

1 September 2013   15:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:31 1960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_275851" align="aligncenter" width="569" caption="gambar diambil dari Buku karangan Nicolaas Jouwe   â��Kembali ke Indonesia, Langkah, Pemikiran dan Keinginanâ�� hal.70"][/caption]

Tentu sudah banyak yang tahu bahwa pada era 1960-an ketika Bung Karno menjadi Presiden RI, Amerika Serikat dipimpin oleh JF Kennedy. Sebagai sesama presiden, tentu keduanya saling kenal.Tetapi apakah kedekatan itu membuahkan sesuatu yang bermanfaat bagi KEDAULATAN NKRI yang saat itu terus dirongrong Belanda?

Jawabannya, Ya. Sejak masih menjadi mahasiswa, JF Kennedy sering mengangkat Soekarno dalam topik-tipik diskusi di kampusnya. Itu dilakukannya karena ketertarikannya pada perjuangan Bung Karno membebaskan bangsanya dari penjajahan serta keberhasilan diplomasi Bung Karno dengan negara-negara di Asia dan Afrika. Maka ketika JF Kennedy menjadi orang nomor satu di AS, ia telah menjalin persahabatan yang erat dengan Bung Karno.

13780236741684759703
13780236741684759703

Fakta ini terungkap dalam dalam buku yang ditulis Nicolaas Jouwe berjudul “Kembali ke Indonesia, Langkah, Pemikiran dan Keinginan” yang diterbitkan PT. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 2013. Dalam kesaksiannya, tokoh pendiri Organisasi Papua Merdeka (OPM) menulis, keterlibatan AS dalam penyelesaian konflik status politik wilayah Irian Barat pada era 1960-an berawal dari kedekatan kedua pemimpin negara ini.

Keterlibatan AS yang kemudian melibatkan PBB dalam proses perumusan New York Agreement 1962 itu boleh dibilang karena kehebatan Bung Karno yang jeli memanfaatkan momentum serta buah dari kedekatannya dengan JF Kennedy.

Itu terjadi tahun 1960 saat Bung Karno berkunjung ke Mexico. Ketika Bung Karno dan rombongan singgah di Washinton, ia mendapat kabar bahwa Kennedy sedang sakit dan beristirahat di rumah orangtuanya di Massachusetts. Bung Karno pun menyatakan keinginannya ke gedung putih untuk menjenguk sahabatnya yang sedang sakit itu.

Jouwe menulis, dalam pertemuan informal di rumah orangtua JF Kennedy itulah, terjadi dialog ini:

Mr. President, what can I do for You?” tanya JF Kennedy.

Mr. President, Irian. Irian is still not beeng giving back to us, Indonesians. It is a part of Indonesia, a part of the Republic of Indonesia,” jawab Presiden Soekarno tanpa basa-basi.

Mendengar jawaban Soekarno, Kennedy berkata singkat, O yes, Mr. President, I know it. Do not worry.”

Beberapa bulan kemudian, terjadi perubahan arah dukungan AS. Diam-diam JF Kennedy menugaskan Mr. Parker, mantan Dubes AS di India untuk membahasnya dengan Mr. U Thant, Sekjen PBB untuk mengatur proses formal menyerahkan kedulatan atas Irian Barat dari Belanda kepada Indonesia. Bung Karno juga menyiapkan delegasi yang dipimpin Dr. Soebandrio untuk berunding dengan Belanda yang difasilitasi AS guna membahas mekanisme penyerahan kedaulatan itu.

Setelah melalui beberapa kali pembahasan Maka pada 15 Agustus 1962 terjadilah peristiwa bersejarah bagi bangsa Indonesia, di mana Belanda akhirnya mau melepaskan kekuasaannya atas wilayah Irian Barat dan menyerahkan kembali ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Peristiwa itu adalah penandatanganan New York Agreement yang menjadi dasar penyelesaian status politik Irian Barat antara Indonesia dan Belanda. Agar Belanda tidak lagi ingkar janji seperti pada kesepatan sebelumnya (Konferensi Meja Bundar di Den Haag) maka New York Agreementdikuatkan dengan Resolusi PBB No.1752 (XVII).

Selama proses itu berlangsung, Nicolaas Jouwe ikut aktif sebagai tim perunding yaitu sebagai Penasehat dan Anggota delegasi Belanda.

Ia pun hanya bisa menyaksikan dari Belanda bagaimana peristiwa 1 Oktober 1962 di mana kekuasaan Belanda atas wilayah jajahannya di Irian Barat ‘dilucuti’ dan diserahkan kepada UNTEA (Pemerintah sementara PBB). Ia juga menyaksikan melalui siaran radio dan surat kabar di Belanda peristiwa tiga bulan kemudian, yaitu tanggal 31 Desember 1962 Sang Saka Merah Putih dikibarkan di samping bendera PBB di Irian Barat. Lalu, pada tanggal 1 Mei 1963, PBB menyerahkan kekuasaan atas Irian Barat kepada Pemerintah Indonesia. Ia tidak bisa berbuat banyak, karena semua proses ini sudah diatur secara tertulis dalam pasal-pasal Kesepakatan New York di mana ia juga terlibat sebagai anggota tim delegasi Belanda.

Karena itu Nicolaas tahu betul bahwa kendati masih ada pekerjaan rumah yang diberikan kepada Indonesia oleh New York Agreement untuk menyelenggarakan referendum (PEPERA) namun menurutnya, proses itu sudah tak ada artinya lagi, hanya formalitas saja. Karena secara de facto maupun de jure Indonesia sudah berdaulat penuh atas wilayah Irian Barat.

Pertemuan Rahasia Jouwe dengan JF Kennedy

Nicolaas mengungkapkan, sebulan setelah New York Agreement ditandatangani, tepatnya 16 September 1962, datang seorang staf gedung putih menjemput dirinya. Presiden ingin bertemu dengannya.

“Saya berhubungan dengan JF Kennedy sangat, sangat rahasia. Mengapa? Karena pada saat itu saya menjadi Penasehat dan Anggota Kerajaan Belanda dalam perundingan Belanda dan Indonesia itu,” Tulis Jouwe.

Pertemuan itu menjadi salah satu dorongan baginya kembali ke Tanah Air. Inilah kata-kata JF Kennedy kepada Jouwe yang masih terrekam secara baik dalam ingatannya.

The next 1963 I have been invited by Soekarno to visit Indonesia. I would be glad to say this, Nicolaas, jointlywe go together to Indonesia and I willcatch your hand and say to President Soekarno ‘This is my present to you, Mr. President.”

Sayang sekali, keinginan JF Kennedy itu tidak terwujud, karena 26 November 1963 ia tewas terbunuh.

Kendati demikian, keinginan untuk pulang ke tanah air tetap tertanam kuat dalam hati Nicolaas, dan baru terwujud empat tahun yang lalu. 23 Maret 2009, Nicolaas menjejakkan kakinya kembali di Tanah Papua. Begitu turun dari tangga pesawat di Bandara Sentani, Nicolaas mencium tanah kelahirannya yang ditinggalkannya 40-an tahun yang lalu.

Hikmah dari buku ini

Upaya meredam gejolak sosial politik di Papua memang sebaiknya datang dari anak negeri sendiri. Karena urusan kedaulatan negeri di era globalisasi saat ini tidak bisa lagi bergantung pada kebaikan hati (baca: campur tangan) pihak asing. Mengapa? Karena dikhawatirkan, bantuan yang diberikan dibonceng kepentingan tertentu.

[caption id="attachment_275861" align="aligncenter" width="621" caption="dari cover belakang buku Kembali ke Indonesia, Langkah, Pemikiran dan Keinginan, ditulis oleh Nicolaas Jouwe."]

13780237701896894554
13780237701896894554
[/caption]

Langkah ini sudah dimulai oleh Nicolaas Jouwe. Setelah semua pintu tertutup baginya untuk memperjuangkan Papua merdeka, iapun sadar bahwa hanya ada satu cara untuk mewujudkan impiannya memajukan Papua. Yakni bersama-sama Pemerintah Indonesia membangun dan terus membangun agar Tanah Papua semakin mandiri dan sejahtera.

Kini Nicolaas sang pencipta bendera Bintang Kejora yang pertama kali dikibarkan pada 1 Desember 1961 itu sepenuhnya sadar bahwa apa yang telah dilakukannya dulu hingga harus numpang hidup selama hampir setengah abad di negeri Belanda adalah perjuangan yang sia-sia.Belanda menjanjikan kepada Jouwe jika Papua sudah merdeka, ia akan dijadikan Presiden.

“Saya pribadi menilai bahwa pelarian saya ke Belanda merupakan pilihan yang patut disesali. Namun kali ini saya menyadari bahwa Papua merupakan bagian integral dari NKRI,” tulisnya. [***]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun