Tikus-tikus mencicit, berduyun-duyun menyerbu rumah-rumah penduduk di Ibu Kota. Hewan pengerat hitam dengan bulu-bulu tebal itu, menyerbu untuk menggerogoti perut-perut penduduk di Ibu Kota dan di tempat lainnya di negara ini. Anehnya, pasukan hewan menjijikan itu justru muncul dari gedung paling bersih di Ibu Kota dan di tempat lainnya.Â
Komang demikian bosan membaca berita-berita nasional di koran pagi ini. Dari kemarin, baik di televisi atau di koran, beritanya serupa: soal tikus-tikus menyerbu. Vaksin berbentuk gas dalam tabung yang diletakkan---bersebelahan dengan APAR---di dinding rumah-rumah penduduk tak manjur menghalau tikus-tikus menyerbu yang laksana wabah.Â
"Satu-satunya cara memusnahkan tikus-tikus keparat dengan meluluhlantakkan sarangnya, gedung-gedung pongah itu." Pikir Komang.Â
Meski tubuh Komang tengah bersantai di teras rumah, memandang hamparan taman kecil berhias bunga-bunga: mawar, melati, anggrek, alamanda, dan pohon pepaya serta mangga lalu bentangan pagar rumah, tetapi pikirannya sedang kemelut dan memelesat ke suatu tujuan rumit.Â
Dia memikirkan strategi kampanye yang disepakati dalam rapat bersama para juru kampanye dan butir-butir rencana untuk kemajuan desa ini. Tetapi, kemudian dia lekas sadar, bahwa pidato berpanjang-panjang soal janji-janji yang hendak dia tebarkan tak penting di telinga warga desa yang akan mendengarkan di tengah kemarau ini. Di negara republik demokrasi ini, yang paling penting, uang-uang yang disodorkan ke kantong warga desa. Ya, uang lebih fasih bertindak dari apa pun di negara yang rakyatnya membayar pajak untuk mengenyangkan perut kaum petinggi ini.Â
Saingannya cukup tangguh pula era ini, yaitu Dul Gopur dan Mad Badar.Â
Dul Gopur orang paling cerdas di desa ini. Lulusan terbaik pada masanya di suatu universitas. Rajin betul Dul Gopur menandaskan buku-buku berbagai disiplin ilmu dan menulis beragam tema sampai menerbitkan beberapa buku. Bukan main Dul Gopur sering diundang televisi untuk berbicara politik. Tetapi, dia tahu benar, bahwa Dul Gopur hanyalah kelas menengah. Dul Gopur dihidupi dari gaji dosen di perguruan tinggi swasta di kota kecamatan dan honor dari undangan serta tulisan, yang tak seberapa banyak.Â
Justru yang betul-betul bikin dia bergidik adalah Mad Badar. Meski Mad Badar yang bermata juling itu orang paling tolol di desa ini. Bagaimana mungkin sebuah negeri dipimpin orang tolol? Tetapi, dia tahu betul, kalau Mad Badar yang paling kaya di desa ini melebihi dirinya. Bukan main usaha rumah makan bapak Mad Badar punya beberapa cabang di kota kecamatan dan luar kota. Uang-uang itu akan menghipnotis banyak orang.Â
"Keparat anjing kudis!" Komang mengumpat lalu mencak-mencak sendiri. Akhir-akhir ini, sering betul dia berbuat demikian.Â
Senyatanya, menyerbak niat tulusnya jadi kepala desa. Dia punya rencana-rencana matang untuk kemajuan desa ini. Dan, dia pula punya dalih kuat, kalau dua kandidat lainnya: Mad Badar dan Dul Gopur, tak pantas duduk di kursi kepala desa. Akan nahas sekali nasib desa ini apabila dipimpin orang paling tolol seperti Mad Badar. Dia yang lulusan pesantren demikian paham kalau: "Suatu perkara yang dipegang orang tak berkompeten, maka hanya menanti kebinasaan," begitulah makna hadis sang Nabi.Â
Syahdan, dia juga berpikir kalau desa ini dipimpin orang paling cerdas macam Dul Gopur yang hobinya membaca dan menulis, lambat-laun akan menuju kehancuran pula. Orang yang maniak membaca dan menulis, representasi orang malas---karena sedikit bertindak. Orang itu hanya pandai mengkritik dan menebar kata-kata manis, sementara kalau diberi kursi maka akan tampak lebih tak becus.Â
"Hai, gegaslah! Kau mesti ketemu guru politik siang ini!"Â
"Tenanglah! Aku hendak bersantai sejenak."
"Jangan kau buang waktu. Waktu adalah pedang."
"Biarlah aku nikmati setiap tusukan detik per detik!"
"Sampean sudah gila, Mas?" Sekonyong-konyong, istri Komang memergoki sang suami yang berdialog dengan dirinya sendiri.Â
***
Tikus-tikus meresahkan itu muncul sejak dahulu kala. Berdampingan sejarah kisah perseteruan Qabil dan Habil, putra dari pasangan manusia pertama yang turun ke bumi---Adam dan Hawa. Habil sebenarnya tak kalah perkasa dari Qabil. Tetapi sebelum Qabil menghunuskan pisau ke perut Habil, terlebih dulu Habil diserbu tikus-tikus keparat.Â
Sepanjang sejarah negara ini, hewan pengerat itu pula sering muncul. Dari zaman kuno hingga negara ini dikelilingi kerajaan-kerajaan, gerombolan hewan pengerat itu muncul dari keraton-keraton lalu menyerbu rumah-rumah penduduk lalu menggerogoti perut mereka. Termasuk yang parah, ketika para penjajah menduduki negara ini, bukan main tikus-tikus itu demikian beringas menyerbu. Banyak nyawa bergelimpangan.Â
Lantas, ketika negara ini merdeka, para pemimpin bangsa mengeluarkan dekrit untuk memusnahkan tikus-tikus itu. Tetapi, tikus-tikus itu justru dikembangbiakkan oleh mafia bangsa yang berkedok pejabat. Sampai sekarang pasukan hewan pengerat itu kerap menyerbu rumah-rumah penduduk. Betul tak membunuh, tetapi kemungkinan tersebut tetap ada, seperti dua contoh kasus di masa lampau: pemusnahan masal orang-orang merah dibantu oleh pasukan hewan pengerat itu, dan penembak misterius memakai senjata yang pelurunya adalah tikus-tikus bajingan itu.Â
***
Pada akhirnya, dengan politik cerdik, Komang berhasil memperoleh suara lebih banyak dari Dul Gopur dan Mad Badar. Secara kepantasan pun, Komang layak betul jadi pemimpin seperti Dul Gopur. Dia juga orang kaya di desa ini seperti Mad Badar. Dia punya banyak koneksi dan dekat dengan pejabat-pejabat, tetapi bukan musabab itu dia memenangi kursi kepala desa.Â
Terceritalah, bahwa Komang berhasil melobi Kiai Munandar (tokoh agama paling disegani) dan Mbah Qodim (dukun sakti),yang keduanya punya pengaruh bukan main di desa ini. Kiai Munandar pengasuh pesantren besar di desa ini dengan santri yang lumayan banyak, sementara Mbah Qodim orang yang sering didatangi penduduk desa untuk konsultasi.Â
"Kiai, pesantren panjenengan nampaknya butuh dibangun agar terlihat modern. Fasilitasnya perlu ditambah. Akan hamba agendakan bila hamba jadi kepala desa."Â
"Kau ada benarnya juga," sahut Kiai Munandar suatu ketika.Â
"Mbah, rumah sampean mesti dirombak lebih cantik lagi supaya makin nyaman untuk singgah pasien-pasien sampean. Aku akan mengabulkannya kalau jadi kepala desa."
"Dipikir-pikir, pendapatmu itu masuk akal," sahut Mbah Qodim di masa yang lain.Â
Waktu terus merangkak, sampailah masa separuh periode Komang. Butir-butir janjinya ketika kampanye dipenuhi secara tanggung-tanggung, padahal dana desa yang turun dari pemerintah tak tanggung-tanggung. Tak tanggung-tanggung pula, Komang membuat kuitansi dan dokumentasi kinerja yang seolah nyata.Â
Pada masa yang sama, usaha budi daya ikan Komang semakin pesat. Mulanya dia membudidayakan ikan lele, kemudian dia juga membudidayakan ikan nila dan gurame---tentu saja memperluas lahan kolam juga. Dia berdalih pada semua orang, bisa membeli mobil baru dan membangun rumah karena usahanya yang mujur.Â
Namun bersamaan dengan kinerjanya yang tanggung-tanggung, tikus-tikus mencicit lalu menyerbu rumah-rumah penduduk desa. Gerombolan hewan pengerat itu menggerogoti perut-perut mereka. Komang menghimbau setiap rumah wajib memiliki tabung gas vaksin dan betul-betul menjaga kebersihan. Padahal, berbarengan dengan pesatnya usaha budi daya ikan miliknya, dia pula mengembangbiakkan tikus-tikus yang berduyun-duyun meresahkan penduduk desa.
Surabaya, 10 Maret 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI