Bayangkan sebuah malam di desa kecil yang sunyi, lalu perlahan berubah menjadi terang oleh ribuan tumpeng yang disusun rapi di sepanjang jalan. Warga dari segala usia datang dengan wajah penuh harap dan senyum hangat, duduk bersama tanpa sekat, menyatu dalam suasana syukur. Inilah Tumpeng Sewu, tradisi masyarakat Osing di Banyuwangi yang tak sekadar menyajikan nasi kerucut, tapi juga menyuguhkan nilai-nilai luhur tentang persatuan dan kebersamaan. Sebuah budaya lokal yang pelan-pelan mengingatkan tentang makna kebersamaan.Â
Tumpeng Sewu dan Tradisinya
Tradisi Tumpeng Sewu merupakan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Suku Osing di Banyuwangi. Selain menjadi perayaan,  tradisi ini mencerminkan nilai sosial budaya seperti kebersamaan, gotong-royong, dan rasa syukur. Tradisi ini awalnya hanyalah upacara bersih desa di Desa Kemiren, yang kemudian berkembang menjadi festival tahunan yang didukung oleh pemerintah  daerah.  Tumpeng,  nasi berbentuk  kerucut, menjadi simbol utama dalam acara ini, bersama pecel pitik dan ayam suwir berbumbu khas Osing yang menyampaikan harapan agar segala upaya menghasilkan kebaikan.
Di era yang serba modern ini, stigma masyarakat Indonesia yang dulunya dikenal ramah perlahan  mulai  memudar,  namun Interaksi  dan keterikatan  warga  Desa  Kemiren  masih  terlihat jelas  dalam  kegiatan doa dan makan  bersama  ini, yang  melibatkan  warga  dari  daerah  sekitar serta pengunjung  lain yang ingin turut serta. Penelitian menyebutkan bahwa tradisi Tumpeng Sewu tidak hanya  menegaskan rasa  syukur  tetapi  juga  berfungsi  sebagai  media silaturahmi dan mempererat tali  persaudaraan antar masyarakat.
Rangkaian Acara Tumpeng Sewu: Simbol Doa dan Kebersamaan
Beberapa rangkaian Tradisi Tumpeng sewu di Desa Kemiren, dimulai saat matahari terbit, masyarakat Desa Kemiren akan mengeluarkan kasurnya masing-masing yang memiliki warna khas hitam dan merah untuk dijemur di depan rumah. Tradisi ini disebut Mepe Kasur atau yang dalam Bahasa Indonesia berarti menjemur kasur. Tak sekedar menjemur kasur saja, masyarakat Desa Kemiren juga berdoa dan memercikan air bunga di halaman mereka yang bertujuan agar dijauhkan dari bencana dan penyakit. Filosofis dari tradisi ini adalah kasur dianggap sebagai benda yang sangat dekat manusia sehingga wajib dibersihkan agar kotoran yang ada di kasur hilang. Warna kasur juga memiliki arti, merah berani dan hitam simbol kelanggengan, yang diartikan agar hidup dalam rumah tangga langgeng dan tentram.
Malamnya, masyarakat Desa Kemiren akan berkumpul dan menyajikan hidangan tumpeng sebagai puncak tradisi Tumpeng Sewu. Dalam acara ini, warga Desa Kemiren tidak lupa memohon doa agar desanya diberi keselamatan. Masyarakat umum pun diperbolehkan untuk mengikuti tradisi Tumpeng Sewu ini.
Refleksi Nilai-Nilai Pancasila dalam Tradisi Tumpeng Sewu