Mohon tunggu...
Rosidin Karidi
Rosidin Karidi Mohon Tunggu... Human Resources - Orang Biasa

Dunia ini terlalu luas untuk ku. Menjadikan sadar semakin sedikit yang ku tahu.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan featured

Ini Perbedaan Sertifikat Halal Terbitan BPJPH Kemenag dengan MUI

20 Maret 2020   14:10 Diperbarui: 14 Maret 2022   06:11 9473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo halal MUI (Kiri) dan logo halal Kemenag (kanan) halal | sumber: KOMPAS.com

Terbitnya Undang-Undang 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, menjadi babak baru proses sertifikasi halal di Indonesia.

Baca juga:

Alasan Mengapa Indonesia Harus Punya UU Halal
Tantangan Pelaksanaan Sertifikasi Halal di Indonesia

Sebelumnya kurang lebih 32 tahun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memegang kewenangan penuh atas proses sertifikasi halal. Sejak pendaftaran, pemeriksaan hingga penerbitan sertifikat. Semua dilakukan dalam satu manajemen, dibawah kendali MUI.

Kini tidak lagi. Pintu masuk dan keluar sertifikasi halal dimandatkan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sebuah badan di bawah Kementerian Agama. Badan ini berwenang menerima pendaftaran sekaligus menerbitkan sertifikat halal.

Lantas, apa perbedaan sertifikat halal yang kini diterbitkan BPJPH dengan sebelumnya oleh MUI?

Mandatori UU

MUI melakukan sertifikasi halal atas mandat surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama dan Menteri Kesehatan. Hal ini dilakukan karena maraknya kasus kandungan babi dalam beberapa produk yang beredar di Indonesia di awal tahun 1980an.

Saat itu, sertifikasi halal menyasar produk yang diduga mengandung bahan babi. Namun seiring waktu, sertifikasi halal terus merambah banyak jenis produk.

Meski demikian, proses sertifikasi halal yang dilakukan MUI bersifat sukarela. Dimana pelaku usaha secara sukarela dan kesadaran mandiri daftarkan produknya untuk peroleh sertifikat halal.

Bagi pelaku usaha, sertifikat halal menjadi nilai tambah atas produknya. Bagaimana pun konsumen Indonesia yang mayoritas Islam tentu sangat fanatik dengan istilah halal. Sehingga produk yang sudah dinyatakan halal bisa berdampak pada omset penjualan.

Kini, sertifikat halal bersifat wajib dan melekat pada produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia. Artinya pelaku usaha tidak punya pilihan lain selain mengajukan sertifikasi halal dan menjaga proses produksi agar tetap halal.

Seluruh prosedur pelaksanaan telah diatur mulai dari UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri hingga Petunjuk Teknis. Karenanya proses sertifikasi halal, kini relatif lebih rapih dan terukur. Ketika ada kendala, biasanya lebih pada koordinasi para stakeholder.

Dari sisi sanksi pun lebih jelas. Jika ada pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah bersertifikat halal dapat dikenakan sanksi pidana 5 tahun penjara.

Proses Pendaftaran

Pendaftaran yang dulu dilakukan langsung ke LPPOM MUI, kini tidak lagi. Semua harus satu pintu melalui BPJPH. Dari pendaftaran inilah proses akan dilanjutkan ke Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan MUI. Kemudian kembali lagi ke BPJPH.

Proses di meja BPJPH sifatnya administratif. Setiap pelaku usaha yang daftarkan sertifikat halal wajib membuka dan memberikan informasi sebagai syarat awal. Jika tidak, BPJPH berwenang menolak pendaftaran.

Syarat dimaksud meliputi data pelaku usaha, aspek legal, penyelia halal, daftar produk dan bahan, proses pengolahan, dan dokumen jaminan halal. Dokumen jaminan halal ini wajib disusun pelaku usaha sebagai kendali kehalalan proses produksi.

Mekanisme Pemeriksaan Produk

Pemeriksaan produk halal dilakukan LPH. Selama ini, fungsi tersebut dipegang penuh oleh LPPOM MUI sebagai satu-satunya LPH di Indonesia.

Namun kini UU telah memberi kesempatan masyarakat dan pemerintah membentuk LPH. Dengan demikian, ke depan LPPOM bukan menjadi satu-satunya LPH di Indonesia. Dan setiap pelaku usaha dapat memilih dari sekian banyak LPH untuk memeriksa produknya.

Kemudian BPJPH akan menetapkan dan memberi perintah kerja kepada LPH untuk melakukan pemeriksaan. Setelah selesai pemeriksaan, LPH wajib melaporkan hasilnya kepada BPJPH.

Perluasan Lingkup Produk Halal

Jika sebelumnya, MUI hanya menyasar makanan, obat, dan kosmetik. Perluasan produk oleh LPPOM sebatas pengalaman atas pengajuan sukarela oleh pelaku usaha. Serta dibatasi kapasitas mereka akan standar halal yang dimiliki.

Sementara UU Jaminan Produk Halal memandatkan sertifikasi halal mencakup produk berbentuk barang dan jasa. Kelompok barang meliputi makanan, minuman, obat, kosmetik, bahan kimia, biologi, dan genetika serta barang gunaan.

Perbedaan signifikan lainnya, sebelumnya sertifikasi halal oleh MUI tidak menyentuh aspek produk jasa. Produk jasa dimaksud mencakup pembelian, penyimpanan, pengolahan, distribusi, pengemasan, penjualan, dan penyajian.

Perluasan lingkup ini berdampak semakin banyak variasi aspek standar halal. Setiap jenis produk atau kelompok produk hampir bisa dipastikan memiliki standar dan titik kritis kehalalan berbeda dengan produk lainnya.

Standar inilah yang mesti ditetapkan dan dimiliki sebagai instrumen pembakuan. Dan standar tersebut menjadi acuan yang mesti dipatuhi seluruh stakeholder, pelaku usaha, Penyelia Halal, pengawas, LPH dan MUI.

Dari kesiapan ini, maka ada kebijakan pentahapan. Jadi meskipun kewajiban akan sertifikat halal sudah diketok sejak 2019 lalu, bukan berarti seluruh produk wajib kantong sertifikat halal saat itu. Semua berjalan bertahap sampai batas waktu tertentu.

Produk makanan dan minuman diberikan batas hingga tahun 2024, kosmetik tahun 2026, dan obat hingga tahun 2034.

Berlaku 4 Tahun

Perbedaan berikutnya ada pada masa berlaku. Sertifikat halal yang diterbitkan BPJPH berlaku selama empat tahun. Ini berbeda dengan sertifikat halal terbitan MUI sebelumnya yang hanya berlaku dua tahun.

Dengan masa izin lebih panjang ini, jelas memberikan angin segar kepada pelaku usaha. Mereka tidak harus setiap dua tahun mengeluarkan sumber daya urus sertifikat halal.

Namun di sisi lain, pengawasan berarti harus dilakukan lebih baik, sistematis dengan mekanisme memadai. Sehingga proses kehalalan produk dari pelaku usaha tetap terjamin.

Karena panjangnya masa berlaku, maka setiap pelaku usaha harus membuka diri untuk dilakukan pengawasan secara periodik oleh BPJPH. Selain juga, Penyelia Halal membuat laporan atas pelaksanaan proses produksi.

Tarif Resmi

Biaya sertifikasi halal diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan. Ini tarif resmi dari Pemerintah. Biaya dimaksud sudah mencakup pendaftaran, administrasi LPH, jasa auditor, transportasi, akomodasi, cek laboratorium, sidang fatwa, dan penerbitan sertifikat.

Untuk menjaga transaksi lebih transparan, pembayaran hanya dilakukan satu pintu melalui BPJPH. Untuk meminimalkan main mata antara pelaku usaha dengan LPH maupun auditor, biaya dibayar melalui bank.

Label dan Kode Sertifikat Halal

Meski belum dipublikasikan, hampir bisa dipastikan label atas sertifikat halal terbitan BPJPH berbeda dengan sebelumnya. Label ini ke depan akan menggantikan seluruh label yang selama ini berlaku.

Pelaku usaha wajib menempelkan label pada produk, di tempat yang mudah dilihat konsumen. Untuk produk yang dinyatakan tidak halal, pelaku usaha wajib memberikan keterangan "Tidak Halal".

Meski demikian sementara sampai tahun 2024, pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal dari MUI, masih dapat gunakan label dari MUI. Ini termasuk antisipasi pelaku usaha yang telah stok kemasan hingga betahun lamanya.

Bagi pelaku usaha yang menggunakan label halal BPJPH, tanpa melalui proses sertifikasi halal akan dikenakan sanksi pidana. Begitu pula bila kedapatan perubahan bahan atau komposisi tidak dilaporkan, sertifikat diancam dicabut.

Sistem pengkodean sertifikat pun hampir bisa dipastikan berbeda dengan MUI. Ini dampak atas perluasan lingkup sertifikasi halal. Selain juga di setiap sertifikat halal wajib tercantum Kode Sistem Harmonisasi (HS Code) sebagaimana digunakan Badan POM dan Ditjen Bea Cukai.

Berlaku Nasional dan Internasional

Proses pendaftaran sertifikat halal dapat dilakukan di seluruh perwakilan BPJPH di Indonesia. Pemeriksaan produk pun dapat dilakukan LPH sesuai pilihan pelaku usaha. Begitu pula sidang fatwa tidak selamanya oleh MUI Pusat.

Dalam proses sertifikasi halal, produk dalam dan luar negeri mendapat perlakuan sama. Daftar dengan cara sama, diperiksa dengan standar sama, fatwa dengan fiqh madzab sama, sebagaimana secara luas dipahami di Indonesia.

Sertifikat halal yang diterbitkan BPJPH berlaku secara nasional dan internasional. Seluruh produk yang telah mendapat sertifikat halal dari BPJPH dapat beredar di seluruh Tanah Air. Juga diakui negara lain yang telah kerjasama dengan BPJPH.

Perlakuan serupa untuk produk luar negeri. Bila telah peroleh sertifikat halal dari BPJPH, dapat beredar di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun