Dalam tulisan sebelumnya, saya mencoba mengulas mengapa Indonesia harus punya UU Jaminan Produk Halal.Â
Beberapa alasan diantaranya, sebagai bentuk perlindungan negara terhadap warganya dalam menjalankan ajaran agamanya. Jaminan dimaksud adalah atas pemenuhan kebutuhan produk halal.
Di sisi lain, regulasi yang ada belum mampu menjadi instrumen untuk menjamin kebutuhan itu. Sementara dengan semakin berkembangnya perilaku konsumen dan perdagangan bebas, semakin sulit bagi umat Islam memilih produk halal.
Lebih lengkapnya ulasan tersebut dapat dibaca Alasan Mengapa Indonesia Harus Punya UU Halal
Meski demikian, dalam pelaksanaannya tidaklah mulus. Sejumlah tantangan menghadang di depan mata. Semua itu sepatutnya disikapi dengan bijak, agar tidak menimbulkan permasalahan dan gesekan di kemudian hari.
Saat diundangkan UU Jaminan Produk Halal 2014 lalu, sempat munculkan berbagi polemik. Mampukah Indonesia menjalankan UU secara berkeadilan, sesuai tujuan untuk melindungi warga negara dalam menjalankan UU ini di tengah keragaman bangsa ini.
Ragam Etnis dan Budaya
Sensus Badan Pusat Statistik menyatakan bahwa di Indonesia ini ada 1.340 suku bangsa tersebar di penjuru nusantara. Dari sekian banyak perilaku, adat-istiadat, tentu bisa saja ada perbedaan dalam pemaknaan halal.
Kita tentu masih ingat berita yang sempat menggemparkan, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin diisukan minum arak saat meresmikan Sekolah Tinggi Agama Katolik di Kalimantan Barat, April 2017 silam.
Saat itu, Menag LHS oleh penari disodori cawan berisi arak untuk diminum. Dalam adat Dayak, memberikan cawan berisikan arak adalah cara mereka menghormati tamu. Namun dalam pandangan syariat Islam, minum arak itu sangat dilarang dan perbuatan dosa.
Ragam Agama dan Kepercayaan
Indonesia adalah rumah umat beragama. Setidaknya ada enam agama besar di Indonesia, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.Â
Sementara menurut catatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada 187 kepercayaan yang hidup dan berkembang.