Mohon tunggu...
Rosidin Karidi
Rosidin Karidi Mohon Tunggu... Human Resources - Orang Biasa

Dunia ini terlalu luas untuk ku. Menjadikan sadar semakin sedikit yang ku tahu.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Simalakama Naik Turun Biaya Haji, Untuk Siapa?

17 Februari 2020   15:23 Diperbarui: 20 Februari 2020   15:19 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jemaah haji dari berbagai negara sedang melaksanakan ibadah di Masjidil Haram | sumber: dokumen pribadi

Akhir Januari 2020, Kementerian Agama bersama bersama Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat sepakati besaran biaya haji 2020. Istilah resminya Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih). Artinya sejumlah uang yang mesti dibayar jemaah haji untuk melaksanakan ibadah haji.

Menurut Menag sebagaimana dilansir website kemenag.go.id, besaran BIPIH tahun ini masih sama seperti tahun lalu. Secara rata-rata Rp35.235.602,00. Berarti mereka yang akan berangkat haji tahun 2020 ini, cukup menambah 10 jutaan.

Semua tepuk tangan. Semua senang. Semua gembira. Pemerintah gembira karena berhasil mempertahankan biaya haji, bahkan meningkatkan pelayanan. DPR gembira karena berhasil membuktikan mereka telah bekerja untuk rakyat.

Jemaah pun senang karena biaya yang dikeluarkan tidak lebih besar dari rombongan jemaah tahun lalu. Sementara pelayanan yang dijanjikan pun membaik.

Komunikasi publik pun dapat dilancarkan dengan gegap gempita, tanpa kurang suatu apa. Semua menuai apresiasi berbagai kalangan.

Biaya Tidak Naik, Pelayanan Terus Meningkat
Selama tiga tahun terakhir, pemerintah bersama DPR berhasil mempertahankan besaran biaya haji. Bahkan setiap tahunnya ada saja sejumlah perbaikan layanan. Tak heran, dampaknya indeks kepuasan pun meningkat.

Pada puncaknya, tahun 2018 kemarin indeks kepuasan jemaah melewati ambang batas, "Sangat Memuaskan". Hasil survei Badan Pusat Statistik, menunjukan angka 85,23, dan terus merangkak naik menjadi 85,91 pada tahun 2019.

Tahun 2020 ini dijanjikan ada sejumlah inovasi dan peningkatan pelayanan. Tidak tanggung-tanggung. Meskipun indeks kepuasan "Sangat Memuaskan", Kemenag terus memacu sejumlah inovasi dan perbaikan.

Salah satunya peningkatan layanan katering di Mekah. Sebelumnya ada 40 kali makan, kini menjadi 50 kali makan. Artinya selama di kota Mekah tidak ada jeda pelayanan katering, sebagaimana tahun sebelumnya.

Sumber Anggaran Peningkatan Layanan
Ini sebuah apresiasi luar biasa untuk para pengambil kebijakan dan keputusan. Betapa tidak, satu sisi jemaah tidak merasa dibebani tambahan biaya. Sisi lain mereka mendapatkan jaminan layanan semakin prima.

Pertanyaannya, Kok Bisa? Padahal sejumlah perbaikan layanan artinya perlu tambahan rupiah.

Jawabannya sederhana. Kuncinya ada pada besaran komponen indirect cost dalam BPIH. BPIH adalah Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji. BPIH menggambarkan seluruh biaya yang dialokasikan BPKH untuk menyelenggarakan ibadah haji dalam kurun waktu satu musim.

Sumber BPIH ada dua macam, yakni direct cost dan indirect cost. Direct cost berupa Bipih yang dibayar langsung jemaah, setoran awal ditambah saat pelunasan menjelang berangkat. 

Sementara indirect cost merupakan biaya yang tidak langsung dibayar jemaah. Sumbernya berasal dari bunga atau nilai manfaat atas pengelolaan setoran awal jemaah.

Sebagaimana diketahui, setoran awal 25 juta saat mendaftar langsung masuk ke rekening BPKH. Di sana uang tersebut dikelola dan menghasilkan bunga. Bahasa lain disebut nilai manfaat. Bunga inilah yang diambil sebagian besar untuk menutup kebutuhan BPIH.

Berapa besarnya? Tergantung kebutuhan, berapa besar untuk menambal agar BIPIH tidak naik.

Sudah rumus umum. Jika ingin layanan meningkat, maka diperlukan tambahan biaya dalam BPIH. Tak perlu banyak mikir, untuk menekan biaya haji stabil, maka indirect cost harus digenjot naik.

Jadi, naik turunnya Bipih sangat tergantung berapa banyak nilai manfaat yang digelontorkan. Menutup biaya tambahan dalam peningkatan kualitas layanan.

Perbandingan Komponen Biaya Haji
Fakta menunjukkan biaya haji tidak pernah turun atau stabil, bahkan terus merangkak naik. Selama lima tahun terakhir, rata-rata biaya haji naik 2 juta Rupiah per jemaah. Kenaikan itu seiring dengan peningkatan layanan yang diberikan kepada jemaah.

Inilah biaya haji yang sebenarnya. Tahun 2020, sebesar Rp69.174.167,00 per jemaah. Namun seperti penjelasan sebelumnya, dalam besaran itu terdapat komponen direct cost dan indirect cost.

Setelah melalui perhitungan rumit atas persediaan bunga atau nilai manfaat, maka ditetapkan biaya haji yang dibayar jemaah cukup menjadi Rp35.235.602,00. Sisanya dibebankan ke indirect cost.

Makanya tidak heran bila setiap tahun mengalami peningkatan indirect cost. Pada 2020 ini Pemerintah harus menyediakan tidak kurang dari 7,16 Triliun Rupiah. Dibandingkan tahun 2016 hanya 3,94 Triliun Rupiah.

Indirect Cost, Uang Siapa?
Sepertinya masalah selesai ya. Biaya haji tidak naik, meski di satu sisi, indirect cost "dipaksa" menutup operasional. Tapi tunggu dulu.

Sebuah ilustrasi sederhana. Jemaah yang akan berangkat tahun 2020 nanti, adalah mereka yang mendaftar sekitar 2013. Artinya telah antre selama 7 tahun.

Saat pertama daftar, jemaah menyimpan uang 25 juta. Kemudian dalam kurun 7 tahun mereka mendapat nilai manfaat 33 juta. Wajar kah? Rasanya instrumen giro atau deposito sekalipun, tidak akan menghasilkan bunga sebesar itu.

Dalam pembahasan biaya haji, jumlah nilai manfaat menjadi asumsi dasar. BPKH selaku pengelola keuangan haji, menyodorkan angka. Dari sinilah penghitungan dimulai.

Tarik ulur dan tawar menawar terjadi. Satu sisi harus menjaga stabilitas dan keseimbangan pengelolaan keuangan haji. Sisi lain bagaimana meningkatkan layanan tanpa harus menaikkan biaya haji indirect cost.

Masih ingat kejadian 2019 ketika ada tambahan kuota 10 ribu. Kondisi ini menuntut tambahan indirect cost lurus berbanding tambahan kuota. Saat itu pembahasan BPIH sudah tuntas. Namun apa yang terjadi. BPKH tidak mampu penuhi seluruh kebutuhan.

Dari total kebutuhan biaya Rp 353,7 miliar, BPKH hanya mampu memberikan kontribusi Rp 120 miliar. Hal ini tentu menunjukkan betapa menipisnya nilai manfaat yang tersisa, hasil pengelolaan dalam kurun waktu satu sebelumnya.

Sisanya kemudian terpaksa ditutup dengan anggaran efisien operasional haji Rp 50 miliar dan Rp 183,7 miliar dari APBN. Bisa jadi ini pertama kali dalam sejarah, indirect cost ditutup menggunakan APBN.

Kembali ke pertanyaan semula, indirect cost ini uang siapa?

Akhir tahun 2019 kemarin, dana setoran haji diperkirakan berjumlah lebih dari 115 Triliun. Bertambah 17 Triliun sejak diserahkan Kementerian Agama ke BPKH akhir 2017. Sejumlah itu pula uang yang dikelola BPKH beserta Dana Abadi Umat (DAU).

Dalam praktiknya, indirect cost diambilkan dari nilai manfaat atas pengelolaan dana haji secara keseluruhan pada setahun sebelumnya. Artinya uang indirect cost milik seluruh jemaah dalam antrean. Bukan saja mereka yang akan berangkat.

Patut menjadi renungan, bagaimana hukumnya. Apakah haji mereka menjadi sah ketika menggunakan uang orang lain dalam melaksanakan ibadah haji.

wallahualam bishshawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun