Mohon tunggu...
Rosendah DwiMaulaya
Rosendah DwiMaulaya Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Darussalam Gontor

Penulis Amatiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arti dari Kerling Mata Berlin

28 September 2025   19:17 Diperbarui: 28 September 2025   19:17 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.istockphoto.com/id/vektor/gadis-anak-duduk-di-kursi-gm1632889084-532641023

Bagiku tempat yang waktunya kerapkali melambat adalah sekolah luar biasa (SLB). Ada bermacam-macam sebab sehingga satu jam di SLB sama seperti satu hari. Muara dari segala sebab itu adalah hati yang merasai. Tentu perasaan hati ketika berinteraksi dengan anak-anak di dalamnya. Setiap tindakan mereka berwujud seribu makna ketika hatiku mencoba menerjemahkannya.

Sama seperti kerlingan Berlin ketika mencari manik-manik kecil yang hendak dirangkainya. Matanya bergerak cepat, tapi tanganku yang lebih dulu merengkuh dua manik-manik itu. Aku memberikan manik-manik itu, Berlin mengerling ke arahku tersenyum lebar. Tidak seperti pekan lalu, hari ini Derlin tampak lebih ceria. Meski juga tidak banyak bicara.

Berlin terus berusaha meronce manik-manik itu ke benang. Aku hanya memvideokannya saja, karena Berlin terlihat tidak butuh bantuan. Amat serius, meskipun manik-manik itu tidak satupun yang masuk ke benang. Di berbagai sudut ruangan, suara anak-anak lain meningkahi keseriusan Berlin. Ada yang tertawa-tawa senang, yang lain emosinya bergejolak entah apa sebabnya. Mendengar itu, Berlin tetap duduk tenang dengan proyek meronce gelangnya.

Demi melihat Berlin yang sedari tadi nihil memasukkan manik-manik ke benang, aku berusaha duduk menyejajarinya untuk dapat membantu. Berlin yang memegang benang, aku yang memasukkan manik-maniknya ke benang. Berhasil pertama, berhasil kedua, berhasil ketiga. Terasa mudah jika kegiatan meronce ini dilakukan berdua. Berlin mengerling ke arahku, nyengir.

Kerlingan itu membuat waktuku berhenti sejenak. Suara kipas berdesing, suara intruksi dari guru-guru fasilitator, dan suara anak-anak dengan berbagai macam gelak emosinya timbul tenggelam di telingaku. Kerlingan tadi merupakan sebuah pesan. Terima kasih. Aku membalasnya juga dengan senyuman.

Berlin belum pernah mengucapkan satu kalimat utuh padaku. Dia hanya kerap membubling jawabanku. Aku memang suka sekali bertanya kepada Berlin dengan menyertakan juga jawaban hingga Berlin bisa menirukannya.

"Berlin suka dandan? Dandan, dandan, dandan." Sembari aku memeragakan tangan yang menyaput wajah seolah sedang bedakan
"Dandan," kata Berlin menirukanku.

"Sama siapa Berlin dandan? Mama, ya. Mama, mama, mama," kataku yang selalu mengulang jawaban pertanyaanku sendiri sebanyak lebih dari satu kali.

"Mama," ujar Berlin tersenyum.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun