Meski aku disuguhi dua versi cerita berbeda tentang kunang-kunang, aku tetap bersikeras untuk kembali ke masa lalu dan merasakan sensasi bermain bersama mereka. Atau jika memang menggunakan mesin waktu terlampau mustahil, aku ingin sekali, setidaknya sekali dalam hidupku menjumpai kunang-kunang.
Namun sayang seribu sayang, kata Emak kunang-kunang semakin sulit di temukan, mungkin sekarang hanya bisa ditemukan di pegunungan atau hutan yang masih alami. Adanya listrik, cahaya buatan, polusi dan penebangan hutan membuat kunang-kunang tak bisa lagi beradaptasi dan bertahan dengan lingkungan.Â
Lambat laun mereka mati dan hilang. Emak bilang, kunang-kunang adalah indikator alaminya sebuah tempat. Mungkin sudah instingnya untuk bisa menilai mana tempat yang bersih dan tercemar.
Aku semakin bersedih, ketiadaan kunang-kunang di desaku menandakan bahwa kini desaku sudah tak asri lagi. Ide gila sempat muncul di kepalaku untuk mengembalikan kunang-kunang di kehidupan sekarang. Aku ingin mengebom pusat listrik dunia, agar lampu-lampu padam.
Aku tak akan mengucapkan selamat tinggal pada kunang-kunang. Karena aku akan berjuang membawanya kembali. Lucu sekali, bagaimana bisa serangga yang 20-30 tahun lalu kehadirannya adlah hal yang biasa seumpama kehadiran nyamuk dan lalat, kini berada di ambang kepunahan. Aku curiga, akankah serangga lain mengalami nasib yang sama saat aku menghadapi hari tua?