Mohon tunggu...
Rosanto dwi
Rosanto dwi Mohon Tunggu... Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga yang aktif dalam bidang ekonomi

Prof. Dr. Rossanto Dwi Handoyo, SE., M.Si., Ph.D. merupakan Guru Besar di bidang Ekonomi Internasional pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga. Fokus keilmuannya mencakup ekonomi moneter, perdagangan internasional, serta analisis data ekonomi makro dengan pendekatan ekonometrika seperti GMM, VAR, dan VECM.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Menimbang Prioritas RAPBN 2026: Antara Ambisi dan Realitas

22 Agustus 2025   15:59 Diperbarui: 22 Agustus 2025   15:59 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Peta Anggaran (Sumber: https://www.dreamstime.com/royalty-free-stock-image-jakarta-map-indonesian-money-image29883446 )

Pemerintah kembali mengumumkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dengan slogan ambisius: Indonesia Tangguh, Mandiri, dan Sejahtera. Anggaran yang digelontorkan sungguh fantastis. Pendidikan mendapat porsi Rp757,8 triliun, program makan bergizi gratis menyerap Rp335 triliun, dan subsidi energi mencapai Rp402,4 triliun. Angka-angka ini mencerminkan tekad besar pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sekaligus menjaga daya beli masyarakat.

Namun, di balik optimisme tersebut, kita perlu jujur menimbang risiko yang menyertainya. Pemerintah berencana menarik utang baru sebesar Rp781,9 triliun, sementara pembayaran bunga saja mencapai Rp599,44 triliun. Ini berarti hampir setengah dari pendapatan negara digunakan untuk membayar kewajiban masa lalu. Apakah kebijakan fiskal kita masih dalam jalur yang sehat? Dan apakah prioritas belanja RAPBN kali ini betul-betul akan mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai target?

Target Pertumbuhan 5,4%: Ambisi yang Sulit Dicapai

Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,4% dengan defisit 2,4% terhadap PDB. Di atas kertas, angka ini tampak moderat, apalagi rasio utang terhadap PDB masih sekitar 38--39%, yang dikategorikan aman. Namun, melihat kondisi riil, target ini terkesan terlalu optimistis.

Data menunjukkan pertumbuhan ekonomi triwulan pertama hanya 4,81%, dan meskipun triwulan kedua membaik di angka 5,12%, mencapai 5,4% secara tahunan tampak sulit. Untuk mencapai target tersebut, dua kuartal terakhir harus tumbuh di kisaran 5,6--5,8%. Dalam situasi ketidakpastian global, perlambatan perdagangan dunia, serta ketegangan geopolitik, hal ini bukan perkara mudah.

Sumber pertumbuhan ekonomi kita selama ini bertumpu pada empat hal: konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah, investasi, dan ekspor neto. Konsumsi rumah tangga relatif stabil, tetapi investasi masih belum cukup kuat untuk menjadi penggerak utama. Kita kalah kompetitif dibandingkan Vietnam, Thailand, dan Malaysia dalam menarik limpahan investasi dari China. Di sisi ekspor, meski ada penurunan tarif dagang ke AS, peningkatan impor produk pertanian dan alutsista justru berpotensi memperburuk neraca perdagangan.

Belanja Populis dan Efektivitas Program

Program makan bergizi gratis dengan alokasi Rp335 triliun menjadi salah satu sorotan. Program ini, di atas kertas, bertujuan meningkatkan kualitas gizi anak sekolah dan mengurangi ketimpangan. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah apakah program ini benar-benar akan menciptakan trickle-down effect ke sektor riil? Apakah benar melibatkan UKM, petani, dan nelayan sebagaimana yang dijanjikan?

Ada risiko besar bahwa kebutuhan bahan pangan untuk program ini tidak bisa sepenuhnya dipenuhi oleh produksi domestik. Jika kebutuhan susu untuk 82 juta penerima, misalnya, harus dipenuhi melalui impor, maka dampaknya justru menekan neraca perdagangan. Situasi serupa terjadi pada sektor pertahanan, di mana belanja alutsista yang mayoritas impor juga memperbesar tekanan defisit perdagangan.

Lebih jauh, program makan bergizi gratis ini bersifat jangka pendek dan cenderung populis. Sulit membayangkan program ini akan terus berjalan 10--20 tahun ke depan. Harapannya, masyarakat kelak mampu memenuhi kebutuhan gizi secara mandiri. Jika tidak disertai strategi penguatan pendapatan rumah tangga dan perbaikan kualitas pendidikan, maka efeknya hanya sementara.

Pendidikan memang mendapat alokasi besar, sesuai amanat konstitusi 20% APBN. Namun, efektivitasnya tetap menjadi pertanyaan. Bagaimana mengukur keberhasilan peningkatan kualitas SDM? Apakah hanya dilihat dari serapan anggaran, atau ada indikator jelas seperti penurunan angka putus sekolah dan peningkatan kompetensi literasi? Tanpa evaluasi yang transparan, program besar ini hanya akan menjadi proyek tahunan tanpa dampak signifikan.

Utang dan Risiko Fiskal Masa Depan

Utang adalah instrumen yang lazim digunakan dalam kebijakan fiskal, dan Indonesia masih berada dalam batas aman, dengan defisit di bawah 3% PDB. Namun, pola gali lubang tutup lubang terus berulang. Hampir setiap tahun, penarikan utang baru lebih besar daripada pembayaran pokok. Memang, sejak 2023 kita mencatat surplus keseimbangan primer sekitar Rp90 triliun, yang berarti penerimaan lebih besar dari pengeluaran di luar pembayaran utang. Sayangnya, surplus ini jauh dari cukup untuk menutup kewajiban bunga dan pokok yang mencapai Rp1.300 triliun.

Selama ini, utang dipandang sebagai alat untuk membiayai pembangunan, tetapi yang harus dijaga adalah efektivitas penggunaannya. Jepang mampu bertahan dengan rasio utang lebih dari 200% PDB karena sebagian besar dibiayai investor domestik dan digunakan untuk membangun industri produktif. Sebaliknya, Argentina dan Venezuela gagal karena utang digunakan untuk belanja konsumtif dan subsidi yang tidak berkelanjutan. Indonesia harus belajar dari sini.

Jika belanja RAPBN 2026 lebih banyak terserap pada program jangka pendek yang minim nilai tambah, maka ruang fiskal kita semakin sempit di masa depan. Generasi mendatang yang akan menanggung beban melalui kenaikan pajak atau pengurangan belanja produktif.

Mengembalikan Prinsip Prudent dalam Fiskal

Prinsip utama pengelolaan anggaran adalah efektivitas, efisiensi, dan kehati-hatian (prudence). Setiap rupiah harus menghasilkan manfaat maksimal. Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh: apakah Rp335 triliun untuk makan bergizi gratis adalah angka yang tepat? Mengapa tidak dimulai secara bertahap, misalnya Rp150--200 triliun, sambil mengukur dampaknya?

Kebijakan fiskal tidak boleh semata-mata berorientasi politis. Harus ada mekanisme perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang jelas agar setiap program mendukung pertumbuhan inklusif. Jangan sampai program yang digadang-gadang untuk rakyat kecil justru salah sasaran, atau lebih buruk lagi, menjadi ladang penyelewengan.

Menjaga Masa Depan Kebijakan Fiskal

RAPBN 2026 mencerminkan komitmen besar pemerintah, tetapi juga mengandung risiko yang tidak boleh diabaikan. Target pertumbuhan 5,4% sulit dicapai tanpa terobosan nyata di bidang investasi dan ekspor. Program prioritas seperti makan bergizi gratis harus dipastikan tepat sasaran dan tidak membebani neraca perdagangan. Yang lebih penting, pengelolaan fiskal harus kembali pada prinsip kehati-hatian. Sebab, kesalahan hari ini akan dibayar mahal oleh generasi mendatang.

Jika setiap kebijakan disusun dengan akuntabilitas, proporsionalitas, dan fokus pada dampak jangka panjang, maka cita-cita Indonesia Tangguh, Mandiri, dan Sejahtera bukan sekadar jargon, melainkan kenyataan yang dapat kita raih bersama.

Oleh Prof. Rossanto Dwi Handoyo
Guru Besar Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun