Pendidikan memang mendapat alokasi besar, sesuai amanat konstitusi 20% APBN. Namun, efektivitasnya tetap menjadi pertanyaan. Bagaimana mengukur keberhasilan peningkatan kualitas SDM? Apakah hanya dilihat dari serapan anggaran, atau ada indikator jelas seperti penurunan angka putus sekolah dan peningkatan kompetensi literasi? Tanpa evaluasi yang transparan, program besar ini hanya akan menjadi proyek tahunan tanpa dampak signifikan.
Utang dan Risiko Fiskal Masa Depan
Utang adalah instrumen yang lazim digunakan dalam kebijakan fiskal, dan Indonesia masih berada dalam batas aman, dengan defisit di bawah 3% PDB. Namun, pola gali lubang tutup lubang terus berulang. Hampir setiap tahun, penarikan utang baru lebih besar daripada pembayaran pokok. Memang, sejak 2023 kita mencatat surplus keseimbangan primer sekitar Rp90 triliun, yang berarti penerimaan lebih besar dari pengeluaran di luar pembayaran utang. Sayangnya, surplus ini jauh dari cukup untuk menutup kewajiban bunga dan pokok yang mencapai Rp1.300 triliun.
Selama ini, utang dipandang sebagai alat untuk membiayai pembangunan, tetapi yang harus dijaga adalah efektivitas penggunaannya. Jepang mampu bertahan dengan rasio utang lebih dari 200% PDB karena sebagian besar dibiayai investor domestik dan digunakan untuk membangun industri produktif. Sebaliknya, Argentina dan Venezuela gagal karena utang digunakan untuk belanja konsumtif dan subsidi yang tidak berkelanjutan. Indonesia harus belajar dari sini.
Jika belanja RAPBN 2026 lebih banyak terserap pada program jangka pendek yang minim nilai tambah, maka ruang fiskal kita semakin sempit di masa depan. Generasi mendatang yang akan menanggung beban melalui kenaikan pajak atau pengurangan belanja produktif.
Mengembalikan Prinsip Prudent dalam Fiskal
Prinsip utama pengelolaan anggaran adalah efektivitas, efisiensi, dan kehati-hatian (prudence). Setiap rupiah harus menghasilkan manfaat maksimal. Pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh: apakah Rp335 triliun untuk makan bergizi gratis adalah angka yang tepat? Mengapa tidak dimulai secara bertahap, misalnya Rp150--200 triliun, sambil mengukur dampaknya?
Kebijakan fiskal tidak boleh semata-mata berorientasi politis. Harus ada mekanisme perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan yang jelas agar setiap program mendukung pertumbuhan inklusif. Jangan sampai program yang digadang-gadang untuk rakyat kecil justru salah sasaran, atau lebih buruk lagi, menjadi ladang penyelewengan.
Menjaga Masa Depan Kebijakan Fiskal
RAPBN 2026 mencerminkan komitmen besar pemerintah, tetapi juga mengandung risiko yang tidak boleh diabaikan. Target pertumbuhan 5,4% sulit dicapai tanpa terobosan nyata di bidang investasi dan ekspor. Program prioritas seperti makan bergizi gratis harus dipastikan tepat sasaran dan tidak membebani neraca perdagangan. Yang lebih penting, pengelolaan fiskal harus kembali pada prinsip kehati-hatian. Sebab, kesalahan hari ini akan dibayar mahal oleh generasi mendatang.
Jika setiap kebijakan disusun dengan akuntabilitas, proporsionalitas, dan fokus pada dampak jangka panjang, maka cita-cita Indonesia Tangguh, Mandiri, dan Sejahtera bukan sekadar jargon, melainkan kenyataan yang dapat kita raih bersama.