Mohon tunggu...
Rosa Folia
Rosa Folia Mohon Tunggu... Independent Writer -

Bachelor of Arts in International Relations from Universitas Airlangga; Master of Arts in International Relations from Universitas Gadjah Mada. Politics, social, culture, football (not necessarily in that order). [Twitter: @folia_deux] [E-mail: rosafolia20@gmail.com]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Toleransi, Tokoh Agama dan Internet

24 Agustus 2016   21:38 Diperbarui: 25 Agustus 2016   11:09 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil Survei Pew Research Center Tahun 2015 (www.statista.com)

Hasil Survei Pew Research Center Tahun 2015 (www.statista.com)
Hasil Survei Pew Research Center Tahun 2015 (www.statista.com)
Sementara agama bisa secara aktif dijadikan media untuk penyebaran pesan damai, agama juga bisa menjadi alat ampuh untuk inseminasi ideologi sempit yang membahayakan kemajemukan masyarakat sehingga mengancam perdamaian. Begitu juga teknologi: kita bisa manfaatkan untuk perdamaian maupun perpecahan.

Karena agama dinilai sangat penting di Indonesia, maka disadari atau tidak, para pemuka agama punya kekuatan untuk mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat terutama dengan semakin terbuka lebarnya akses terhadap informasi. Berdasarkan fakta di atas, saya rasa sangat relevan untuk meminta pertanggungjawaban tokoh agama atas interpretasi kitab suci yang mereka sebarkan baik melalui internet atau tidak.

Satu kicauan di Twitter atau ceramah yang diunggah di Youtube dari seorang pemuka agama punya implikasi viral. Promosi propaganda bernuansa kebencian pun semakin gampang dilakukan secara online yang akan diteruskan oleh orang-orang yang mengikuti jejak mereka. Satu ceramah mereka di kegiatan keagamaan pun dapat berakhir di internet. Dan seperti kita tahu, ketika sesuatu sudah ada di internet, itu akan berada disana selamanya.

Dalam catatan sejarah kita terdapat berbagai konflik sektarian yang menguji sikap toleransi. Jika kita terpaksa menyadari pentingnya toleransi setelah melalui konflik tersebut, maka setidaknya kita harus membuka mata agar bisa melihat akarnya dimana. Memahami sebab konflik membuat kita tidak gampang terprovokasi.

Akar konflik itu bukan semata-mata “aku Nasrani, kamu Muslim”, meski banyak pihak ingin kita mempercayainya, tidak terkecuali mereka yang menyebut diri sendiri sebagai tokoh agama. Anda bisa bayangkan betapa berbahayanya simplifikasi tersebut. Jika perbedaan agama adalah satu-satunya penyebab konfrontasi, kita bisa pesimis mulai dari sekarang bahwa perdamaian tidak akan pernah tercapai. Membuat isi dunia ini satu warna adalah mission impossible.

Sialnya, banyak kaum fanatik agama tertentu yang memanfaatkan ketidaktahuan kita dengan memberi ceramah penuh kebencian terhadap mereka yang berbeda keyakinan. Tanpa bersikap skeptis, kebencian itu pun mudah diterima. Anda tahu, seperti saat beberapa orang ngotot bahwa tomat adalah sayuran, tanpa paham apa beda buah dan sayur.


Sidney Jones, peneliti terorisme di Asia Tenggara dan penasihat senior International Crisis Group, mempublikasikan tulisan berjudul Causes of Conflict in Indonesia. Dari tulisan itu ia menjelaskan bahwa apa yang terlihat di permukaan sebagai konflik agama, rupanya punya berbagai lapisan di bawahnya yang jauh lebih rumit, seperti perebutan kekuasaan, perubahan demografis hasil transmigrasi hingga minimnya lapangan pekerjaan.

Simplifikasi persoalan tersebut memunculkan narasi ‘pelaku dan korban’ dimana satu kelompok agama dianggap menjadi pelaku yang terus-menerus menekan kelompok agama lain. Lalu, korban menuntut keadilan dengan juga mengantarkan pesan negatif. Hasilnya? Sebuah lingkaran setan. Parahnya, beberapa pemuka agama sendiri sering terlibat dalam memperburuk situasi ini dengan polarisasi isu. Kita bisa temukan berbagai sentimen negatif terhadap satu sama lain hanya dengan satu klik.

Meminta Pertanggungjawaban Para Tokoh Agama

Dialog Keagamaan Antara Pemeluk Yudaisme dan Islam di Sinagog Shaar Hashamayim, Minahasa (www.cnnindonesia.com)
Dialog Keagamaan Antara Pemeluk Yudaisme dan Islam di Sinagog Shaar Hashamayim, Minahasa (www.cnnindonesia.com)
Saat seorang tokoh agama tanpa beban memprovokasi pengikutnya dengan kebencian, di saat itulah toleransi seharusnya tidak berlaku lagi. Maka, penyajian toleransi beragama harus menggunakan akal sehat dan empati.

Akal sehat mampu membuat kita melihat lebih jauh dari sekedar simplifikasi persoalan -- “agama kami terbaik” atau “mereka adalah kafir sehingga harus diperangi” -- yang sering didengungkan beberapa pemuka agama. Sedangkan empati diperlukan untuk menyadari bahwa perbedaan tidak bisa dihindarkan dan kemanusiaan harus tetap dikedepankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun