Mohon tunggu...
Ropiudin
Ropiudin Mohon Tunggu... Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan / Program Studi Teknik Pertanian / Universitas Jenderal Soedirman

Ropiudin adalah dosen tetap pada Program Studi Teknik Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman. Menyelesaikan pendidikan S1 pada Program Studi Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor dengan Peminatan Energi dan Elektrifikasi Pertanian dan melanjutkan S2 pada Program Studi Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor dengan Peminatan Teknik Energi Terbarukan. Saat ini sedang menempuh jenjang doktoral pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian Institut Pertanian Bogor dengan kajian disertasi pada teknologi penyimpanan energi terbarukan. Matakuliah yang diampu yaitu energi terbarukan, teknologi bioenergi, audit energi, manajemen perencanaan energi terbarukan, energi dan elektrifikasi, pindah panas, dan termodinamika. Selain itu, aktif di bidang penelitian dengan fokus penelitian pada teknik sistem termal dan energi terbarukan sebagai ketua tim peneliti dengan sumber biaya dari Rispro LPDP, Insinas, Hibah Pekerti, Hibah Bersaing, Inovasi Industri, Riset Terapan, sampai Matching Fund. Diseminasi teknologi ke masyarakat dilakukan bekerja sama dengan beberapa petani jagung, padi, gula kelapa, kopi, pala, cengkeh, serta pemerintah daerah dan desa guna memperkenalkan teknologi energi terbarukan untuk diversifikasi energi dan efisiensi guna meningkatkan daya saing serta mendukung transisi energi bersih, net zero emission, green economy, dan pembangunan berkelanjutan. Pengalaman dalam pengembangan institusi sebagai Ketua Program Studi Teknik Pertanian, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Unsoed 2 Periode (2008-2012 dan 2012-2016), Sekretaris Pusat Penelitian Energi Baru dan Terbarukan LPPM Unsoed (2015-2019), serta kegiatan ad hoc lainnya di level fakultas, LPPM, LP3M, dan universitas, serta lembaga di luar kampus (PERTETA, METI, ADN, PII, dan WREN). Korerspondensi dapat dihubungi melalui e-mail: ropiudin@unsoed.ac.id

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Perjalanan Inovasi Bioetanol: Solusi Energi Terbarukan dan Masa Depan Bioenergi di Indonesia

13 Oktober 2024   09:19 Diperbarui: 13 Oktober 2024   09:24 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi teknologi bioetanol (Sumber: shutterstock)

Dengan proyeksi bahwa populasi dunia akan mencapai 10 miliar jiwa pada tahun 2050, tantangan dalam pemenuhan kebutuhan energi global akan meningkat secara signifikan. Saya menilai bahwa transisi energi dari bahan bakar fosil menuju sumber energi terbarukan, khususnya bioetanol, menjadi krusial dalam mendukung keberlanjutan energi dan lingkungan. 

Pemanfaatan biomassa sebagai sumber bahan baku bioetanol adalah salah satu solusi paling menjanjikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi sekaligus mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. 

Berikut ulasan mendalam terkait empat generasi bioetanol dan tantangan teknologinya.

Bioetanol Generasi Pertama (1G): Keuntungan dan Kendala

Bioetanol generasi pertama (1G) adalah jenis bioetanol yang paling umum diproduksi saat ini. Metode produksi 1G terutama didasarkan pada fermentasi glukosa yang diperoleh dari serealia, seperti jagung, tebu, atau gandum, yang difermentasi menggunakan ragi. Namun, bioetanol 1G telah menimbulkan beberapa masalah, terutama terkait dengan konflik energi dan keamanan pangan.

Masalah utamanya adalah kompetisi penggunaan lahan. Penggunaan bahan pangan seperti jagung atau tebu untuk bioetanol bersaing langsung dengan kebutuhan pangan global, yang berdampak pada kenaikan harga pangan. Selain itu, energi yang dihasilkan dari bioetanol 1G sering kali dianggap tidak seimbang dengan energi yang diperlukan untuk menanam, memanen, dan memproses bahan baku. Efisiensi energi dari produksi 1G perlu ditingkatkan untuk membuatnya lebih layak secara komersial dan ekologis.

Sebagai solusi, pengembangan teknologi yang lebih efisien dalam penggunaan air dan energi sangat diperlukan. Saya melihat bahwa integrasi sistem panas dan penggunaan energi terbarukan dalam proses produksi bioetanol dapat mengurangi jejak energi dan meningkatkan keberlanjutan proses ini.

Bioetanol Generasi Kedua (2G): Inovasi dan Tantangan Teknologi

Bioetanol generasi kedua (2G) muncul sebagai alternatif yang lebih berkelanjutan dibandingkan generasi pertama. 2G menggunakan biomassa lignoselulosa---sisa-sisa pertanian seperti jerami padi, sekam, atau residu kayu---yang tidak bersaing dengan kebutuhan pangan. Ini menjadi langkah maju yang signifikan dalam meminimalkan konflik antara produksi pangan dan bahan bakar.

Namun, tantangan utama produksi bioetanol 2G adalah proses yang lebih kompleks dan biaya yang lebih tinggi dibandingkan 1G. Proses pretreatment yang diperlukan untuk memecah lignin dan selulosa menjadi gula sederhana membutuhkan energi dan teknologi canggih. Selain itu, proses hidrolisis untuk mengubah polimer ini menjadi monosakarida juga mahal dan belum sepenuhnya optimal di Indonesia.

Dalam hal ini, riset yang lebih mendalam mengenai metode pretreatment dan hidrolisis yang lebih murah dan efisien sangat diperlukan. Penggunaan teknologi termal dan energi terbarukan dapat diintegrasikan ke dalam proses produksi untuk mengurangi biaya energi. Misalnya, pemanfaatan energi surya dan biomassa dalam proses pemanasan atau fermentasi dapat meningkatkan efisiensi energi dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dalam proses produksi.

Bioetanol Generasi Ketiga (3G): Potensi Mikroba Fotosintetik

Bioetanol generasi ketiga (3G) membawa inovasi baru dengan menggunakan mikroba fotosintetik, seperti alga, untuk menghasilkan bioetanol. Alga dianggap sebagai bahan baku yang menjanjikan karena mampu tumbuh di lahan yang tidak cocok untuk pertanian dan memiliki potensi produktivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan tanaman darat.

Alga juga tidak memerlukan lahan subur dan dapat tumbuh dengan memanfaatkan air laut atau air limbah, sehingga mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam yang terbatas. Namun, meskipun potensinya besar, pengembangan bioetanol 3G masih menghadapi sejumlah hambatan teknis. Biaya untuk mengekstrak dan memproses alga menjadi bioetanol masih relatif tinggi, terutama dalam hal teknologi pemanenan dan pengolahan biomassa alga.

Saya melihat bahwa kunci keberhasilan produksi bioetanol 3G terletak pada optimasi teknologi fotobioreaktor dan pemanfaatan energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam proses produksi. 

Penggunaan energi surya atau sistem hibrid energi terbarukan untuk memanen alga atau mengeringkan biomassa alga dapat membantu menekan biaya energi, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi dampak lingkungan.

Bioetanol Generasi Keempat (4G): Rekayasa Genetika untuk Peningkatan Produksi

Bioetanol generasi keempat (4G) memanfaatkan teknologi rekayasa genetika pada mikroba fotosintetik untuk meningkatkan efisiensi produksi bioetanol. Metode ini melibatkan modifikasi mikroorganisme agar lebih efisien dalam mengonversi karbon dioksida menjadi bioetanol. Ini merupakan pendekatan yang revolusioner, di mana mikroba mampu memanfaatkan CO dari atmosfer sebagai sumber karbon utama, sehingga berpotensi berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.

Namun, pengembangan bioetanol 4G masih dalam tahap awal dan memerlukan riset lebih lanjut, terutama di Indonesia. Pendekatan ini juga menuntut investasi tinggi dalam bidang bioteknologi dan infrastruktur yang memadai untuk menerapkan rekayasa genetika pada skala industri. Selain itu, regulasi terkait keamanan dan etika dalam penggunaan mikroba hasil rekayasa genetika juga menjadi tantangan tersendiri.

Kesimpulan

Semua generasi bioetanol memiliki peran penting dalam transisi energi berkelanjutan. Namun, keberhasilan implementasinya di Indonesia memerlukan investasi dalam riset dan pengembangan teknologi, dukungan kebijakan pemerintah, dan insentif bagi industri untuk mengadopsi teknologi ini.

Indonesia, sebagai negara agraris dengan potensi biomassa yang melimpah, harus memprioritaskan pengembangan bioetanol generasi kedua dan ketiga untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan menjaga ketahanan pangan. Selain itu, upaya integrasi energi terbarukan dalam proses produksi bioetanol harus diperkuat untuk memastikan keberlanjutan energi di masa depan.

Pemanfaatan teknologi termal dan energi terbarukan, seperti energi surya dan biomassa dalam proses produksi, serta pengembangan bioteknologi dalam produksi bioetanol generasi keempat, dapat menjadi solusi jangka panjang bagi transisi energi bersih dan keberlanjutan lingkungan di Indonesia.

Penulis: Ropiudin, S.TP., M.Si. (Dosen Bidang Teknik Sistem Termal dan Energi Terbarukan, Universitas Jenderal Soedirman) / Mahasiswa S3 Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian, Sekolah Pascasarjana, IPB University

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun