Mohon tunggu...
Ronny P Sasmita
Ronny P Sasmita Mohon Tunggu... -

Ada ajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Petang untuk Pagi yang Indah

1 Juli 2014   23:53 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:55 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Saya rindu melihat negara ini makmur, saya rindu melihat pemimpin-pemimpin negara ini berbuat tulus untuk rakyat, bukan mempermainkan kelemahan rakyat, membodohi dan memanfaatkan rakyat belaka, dan saya rindu melihat demokrasi ini mempunyai efek ril terhadap kesejahteraan rakyat banyak," ucapnya serius. Dia menatap saya sambil berkaca-kaca. Lalu bertanya,"sudah berapa banyak buku-buku ekonomi politik yang kamu telan? Sudah berapa banyak buku filsafat politik yang kamu cerna? Dan sudah berapa banyak buku sastra yang kamu nikmati untuk mengobati kekecewaanmu atas buku-buku teoritik itu?,". Saya cuma diam, sedikit malu dan agak kurang pede membalas tatapannya yang sangat tajam itu.


Tanpa basa-basi, dia terus memberondong dengan pertanyaan yang bagi saya terasa menyayat bagaikan belati. "Saya tau, kamu sudah dapat benang merahnya kan, mau diapakan negara ini agar lebih baik? Yang tidak kamu temukan adalah siapa yang mau melakukan itu? Kamu juga tau, hampir semua tokoh-tokoh besar negeri ini mampu melakukan itu, tapi apakah mereka mau, meskipun mungkin mereka mampu? Saya lagi-lagi memilih untuk diam saja dan terus mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya.


Gejolak di dalam hati memang sudah tak terbendung lagi. Rasanya ingin beradu argumen seperti yang biasa saya lakukan didalam diskusi-diskusi kecil warung kopi. Tapi apa yang ingin saya muntahkan? Isi buku-isi buku itu? Semuanya akan mental dan masuk tong sampah jika kemauan politik itu tidak ada. Jika semua para pihak yang berjalin kelindan didalam kekuasaan memilih membiarkan kondisi saat ini sebagai kondisi yang semestinya, maka apapun teorinya, hasil rilnya akan sama saja, yaitu "nol besar".


Terkadang kita memilih berbohong pada diri sendiri. Saat banyak realitas-realitas ekonomi nasional yang tak semestinya terasa dan tercandra, namun kita memilih membiarkannya berseliweran seperti data-data lainya. Mengapa? Karena kita adalah juga bagian dari kesulitan ekonomi itu. Karena kita diwajibkan untuk menyelamatkan diri sendiri didalam peta ekonomi yang sangat buta ini. Apakah sistem menginginkan hal seperti ini? Agar kita tak lagi sempat menggunakan nalar kritis untuk menggugat secara sistemik? Agar kita lupa bahwa sebagian dari kesuksesan rakyat menaiki tangga kemakmuran ada ditangan negara juga?
Inilah negara dengan kekiniannya. Dan itulah mereka-mereka yang bercerita manis pada rakyatnya, mulai dari subuh, siang, petang dan malam. Mereka seperti enggan absen di dalam ruang publik, berjuang meyakinkan banyak mata agar percaya saja pada apa yang sudah ada dan yakin saja bahwa yang sudah ada itu adalah sebuah prestasi yang sangat berharga. Mereka memang pendongeng handal bukan, pembawa cerita kehidupan publik yang sebenarnya tak pernah menarik. Cerita tentang mimpi-mimpi yang tak mungkin dimakzulkan dari tidur lelap kita. Mimpi-mimpi yang dibiarkan terbengkalai tak bertuan didalam tidur yang kian mendengkur karena resah.


Pikiranku melayang menerobos awan kemudian terjatuh dengan sedih kepermukaan bumi lagi. Bertemu lagi dengan celotehan bapak tadi. Dia ternyata diam saja saat saya tidak memberikan reaksi apa-apa. Dia tercengang melihat saya terdiam linglung, terperangkap didalam lamunan kritis diri sendiri. "Kenapa kamu diam? " Apakah kamu ingat sepuluh tahun lalu, saat kamu dan satu orang kawanmu menikmati kopi diatas lantai bambu rumah saya? Dimana kita berbicara banyak tentang perubahan, tentang masa depan petani, tentang usaha-usaha yang perlu dilakukan petani, tentang pendidikan politik untuk petani, dan tentang apa yang semestinya dilakukan negara untuk petani? Waktu itu, kalau saya tidak salah, kamu baru saja duduk di semester empat, masih kurus ceking, belajar melinting bakau kepada istri saya, dan belajar duduk nikmat diatas tikar penutup lantai bambu, saya masih ingat dengan jelas itu semua," beliau berkicau tak terbendung. Saya terdiam dan diam-diam mengiyakan semua perkataannya.


Itulah awal kedekatan kami. Awal yang indah, dimana tak ada bendera kelompok, tak ada arogansi organisasi, saya dan seorang kawan dari jurusan pertanian membangun komunikasi dan silahturahmi dengan tokoh-tokoh petani di lereng gunung dekat Universitas Padjadjaran. Kami bermalam sembari bercengkrama, berbicara apa saja tentang kehidupan, berbagi apa saja untuk kehidupan. Biasanya, setelah sholad isya, usep, tetanga dekat bapak tadi, datang menawarkan jagung. Tentu dia tidak langsung membawa jagungnya. Dia cuma menawarkan jagung bakar, jika kami menginginkannya, maka kami akan ke ladang jagungnya bersama-sama, lalu memetik beberapa yang dibutuhkan dan membakarnya dilapangan. Lalu bergantian memainkan gitar, bernyanyi riang, melepas keletihan disiang hari.


Keesokan harinya, baru saja kopi hadir didepan mata, pasti ada saja satu atau dua tetangga yang mengajak kerumah mereka untuk makan. Seringkali kita menyebutnya sarapan, tapi bagi mereka sama saja, yaitu makan. Karena saya melihat, menu-menunya tak berbeda dengan menu rakyat saat makan siang atau makan malam, walau itu disajikan dipagi hari. Dan ramahnya mereka melebihi segala-galanya. Terkadang diikhlaskan saja tamu makan dengan menu yang nikmat, sedangkan mereka kebagian sisa yang entah tinggal apa. Itulah rakyat Indonesia.

Hanya tamu yang kurang ajar yang menghabiskan semua kenikmatan rakyat ini untuk kepentingan pribadi, sengaja memanfaatkan permisifitas rakyat ini untuk menggerogoti negeri.
Cerita ini seperti kembali mencuat ke permukaan dan membentur perjalanan saya. Tanpa sengaja di tahun 2012 silam, saya bertemu kembali dengan bapak tani disekitaran kampus universitas padjadjaran. Dan cerita berulang kembali. Hampir tiga jam kami habiskan di warung kopi cuma untuk bercengkrama yang terkadang tak jarang berurai air mata. Dia tak berubah, masih kritis melebihi mahasiswa, masih semangat melebihi anak muda, meski sudah terlihat sangat renta.

Setelah memberondong saya dengan banyak cerita-cerita, akhirnya penilaian yang saya tunggu-tunggu keluar juga dimulutnya. "Kamu sekarang terlihat lebih dewasa, lebih kalem dan santai dalam bersikap, tidak terlalu berapi-api seperti dulu, mungkin telah banyak mengenyam asam garam kehidupan nyata, atau mungkin karena terlalu banyak membaca buku karya penulis-penulis Amerika" ucapnya sembari senyum setelah mengisap rokok lentingan. Saya cuma tersenyum manis. "Ya begitulah pak, mungkin memang harusnya begitu," saya menambahkan.

Lalu tanpa saya sangka dia bertanya tentang sebuah nama, sebuah nama yang tabu bagi mahasiswa zaman saya dulu. "Gimana menurutmu tentang Prabowo, mantan menantu Soeharto yang banyak kamu bedah dulu? Menurut saya, dia punya kapasitas yang cukup untuk mengembalikan arah ekonomi yang sudah terlanjur liberal ini?." Sejatinya memang saya tidak terlalu kaget, tokoh yang dia sebutkan adalah juga tokoh penting didalam salah satu organisasi petani di negeri ini. "Apakah kamu juga termasuk manusia terdidik yang menstigma beliau tanpa ampun soal HAM dan penculikan-penculikan?," dia melanjutkan tanyanya. Saya seperti kehabisan bahan, mungkin juga kehabisan energi untuk menyela.

Saya cuma menambahkan, "Dia salah satu kandidate terkuat pengganti president yang sekarang, dan dia layak, bahkan sangat layak". Dia terdiam, berusaha mencerna arah pembicaraan saya. Lalu memberi reaksi," saya tidak tau pertimbangan kamu apa, tapi akan saya hormati itu, walau jawabanmu jauh berbeda dengan banyak bekas mahasiswa yang pernah saya ajak bicara, termasuk kawanmu yang dulu itu. Tapi intinya, soal layak dan cocok tadi, saya sepakat, saya cuma berharap, kerinduan saya yang saya katakan diawal tadi bisa dia obati, karena belum ada yang seperti dia sampai saat ini".


Saya sengaja tidak memberikan reaksi yang berhubungan dengan topik itu. Mungkin karena saya sudah tau tendensi politiknya, yang notabene hampir mirip-mirip dengan saya, mungkin juga karena saya tidak mau mengotori pertemuan ini hanya dengan omongan politik yang tak berpangkal dan tak berujung. Hampir tiga jam tak terasa, diapun memohon pamit untuk segera menapaki lereng gunung menuju kerumahnya. Dan sayapun memutuskan untuk menyudahi acara nostalgia ke tempat dimana pertama kali saya berkenalan dengan banyak buku-buku.


Dua tahun sudah pertemuan itu berlalu, hari ini terbesut kembali didalam ingatan saya. Saya tersenyum, ada rasa sedih dan duka, tapi ada pula rasa harap dan bahagia. Saya membayangkan beliau sedang berjuang sekuat tenaga disana, untuk memperjuangkan kemenangan figur yang dia harapkan, figur yang pernah dia ceritakan pada saya dua tahun lalu, figur yang banyak dia titipkan harapan dan mimpinya soal negeri ini.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun