Di sini akhir aliran sungai. Saat air tawar dan air laut bertemu. Di sini akhir masa. Saat yang lampau dan yang kemudian bertemu. Bercampur. Serasa payau. Setengah tawar, setengah asin. Meski begitu, keduanya berbeda. Berbeda lingkungan. Berbeda pohon. Berbeda hewan. Tak ada yang perlu disesali.
Bu Sri memandang jauh ke depan. Televisi yang menyala bukan fokus tatapannya. Ia tidak mengetahui apa yang ditayangkan televisi. Matanya berkunang-kunang.
Guru Bisma duduk di samping istrinya dan memandang heran. "Bu, ada apa?"
Bu Sri membalas tatapan suaminya. Tidak sepatah kata pun diucapkannya. Ia kembali menatap ke arah ke dinding tempat di mana televisi kecil keluarga sederhana itu duduk di atas lemari buku sang suami.
"Ada berita yang membuat ibu resah?," Guru Bisma mencoba memperjelas masalah.
Bu Sri kembali menatap suaminya. Masih dalam ekspresi yang sama. Lalu kembali mengarahkan pandangnya ke arah dinding.
"Ada apa to, Bu? Kalau ada sesuatu yang meresahkan, ya dikatakan saja. Siapa tahu dengan mengatakannya akan membuat ibu lega. Aku belum tentu bisa memecahkan masalahnya. Tetapi bisa jadi pendengar. Siapa tahu aku bisa urun rembug," Guru Bisma berdiri sambil berjalan ke arah lemari buku dimana televisi keluarga diletakan. Tombol mati-hidup televisi ditekannya. Sekarang tidak ada lagi suara ataupun gambar dari televisi. Tetapi istrinya masih saja memandang ke dinding di latar televisi.
Guru Bisma kembali ke tempatnya semula. Ke kursi meja makan. Ia duduk lebih dekat di samping istrinya.Â
Bu Sri kembali menatap suaminya. Sekarang ia menggeser tubuhnya sehinga berhadapan dengan Guru Bisma. Matanya berkaca-kaca. "Muara. Muara," suara Bu Sri lirih.
"Muara apa, Bu? Muara sungai? Sungai yang mana?," Guru Bisma bertanya.
"Muara, Pak. Kita ada di muara," air mata perlahan menetes di pipi Bu Sri.
Guru Bisma kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan juga apa yang harus ia katakan. Sejurus ia diam mematung. Ditatapnya wajah istrinya. Ada rasa iba dan sayang bercampur dalam hatinya.