Hasil analisis menunjukkan daun Otok-otok menyimpan 87 senyawa aktif, mayoritas termasuk golongan flavonoid yang terkenal memiliki efek antioksidan, antiinflamasi, dan antibakteri.
Menariknya, ditemukan pula Aldgamycin I, antibiotik alami yang umumnya hanya dihasilkan oleh mikroba. Temuan ini mengindikasikan adanya simbiosis unik antara tanaman dan mikroba endofit yang hidup di dalam jaringan daunnya.
Untuk mengungkap mekanisme kerja senyawa tersebut, tim menggunakan dua pendekatan.
Pertama, analisis kimia menggunakan alat canggih yang dapat mengidentifikasi kandungan molekul di dalam daun.
Kedua, dilakukan simulasi komputerisasi atau uji in silico—yakni memodelkan interaksi senyawa Otok-otok dengan protein milik bakteri.
Sederhananya, setiap senyawa diuji seperti kunci yang dicocokkan ke gembok protein bakteri. Bila cocok, aktivitas bakteri akan terganggu. Hasil simulasi menunjukkan beberapa senyawa Otok-otok mampu menempel kuat pada target protein, bahkan hampir sekuat antibiotik medis.
Bukti Nyata di Laboratorium
Tak berhenti di simulasi, tim juga melanjutkan ke tahap uji laboratorium langsung (in vitro). Ekstrak daun Otok-otok diuji terhadap E. coli dan S. aureus di cawan petri.
Hasilnya tampak jelas: terbentuk zona bening di sekitar ekstrak, menandakan pertumbuhan bakteri berhasil dihambat.
Fenomena ini menjadi bukti kuat bahwa Otok-otok memiliki aktivitas antibakteri nyata, bukan sekadar hasil dugaan komputer semata.
Penelitian ini sekaligus menegaskan bahwa kearifan lokal dan sains modern dapat saling melengkapi. Apa yang dulu hanya dipercaya secara turun-temurun, kini mulai terverifikasi secara ilmiah.
Dari Dusun Banyuwangi untuk Dunia
Penemuan ini bukan hanya kabar baik bagi dunia akademik, tapi juga bagi upaya global melawan resistensi antibiotik.
Dari dusun kecil di Banyuwangi, muncul harapan baru bahwa tanaman lokal Indonesia bisa menjadi sumber inovasi kesehatan dunia.
Selain nilai ilmiahnya, riset ini juga punya nilai sosial-budaya tinggi. Ia menjadi contoh bagaimana pengetahuan tradisional bisa menjadi pijakan bagi penelitian modern, sekaligus menghidupkan kembali minat terhadap tanaman obat Nusantara.
Ke depan, penelitian lanjutan diperlukan untuk memurnikan senyawa aktif dan memastikan efektivitasnya secara klinis. Kolaborasi lintas bidang dan dukungan dari berbagai lembaga riset sangat dibutuhkan agar potensi besar ini dapat dikembangkan lebih jauh.
Penutup