Bagi masyarakat Osing, daun Otok-otok bukan sekadar tanaman liar. Dulu, mereka percaya daun ini mampu menolak bala—dipakai dalam ritual adat, diletakkan di sudut rumah, hingga dibawa bepergian untuk menangkal gangguan gaib. Suara bijinya yang meletup “otok-otok” bahkan dianggap sebagai bunyi pengusir roh jahat.
Namun, kepercayaan lama itu kini menemukan makna baru lewat sains. Riset membuktikan bahwa daun sederhana dari tanah Banyuwangi ini ternyata punya kemampuan lebih nyata: melawan bakteri berbahaya penyebab penyakit mematikan.
Melalui program PKM-RE pendanaan Belmawa Kemdiktisaintek, tim mahasiswa Program Studi D4 Teknologi Laboratorium Medis STIKES Banyuwangi yang beranggotakan Muti Dwi Miranda, Rona Suci Puji Lestari, Melinda Maulidia, dan Nawal Putri Ayu Maharani berhasil mengungkap potensi ilmiah di balik tanaman penuh mitos ini.
Penelitian mereka menunjukkan, daun Otok-otok bukan hanya warisan budaya, tapi juga sumber senyawa antibakteri alami yang bisa menyaingi kekuatan antibiotik modern.
Dua Musuh Lama Umat Manusia
Penelitian ini difokuskan pada dua bakteri berbahaya: Escherichia coli (E. coli) dan Staphylococcus aureus (S. aureus).
Keduanya dikenal luas sebagai penyebab berbagai infeksi yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari maupun di rumah sakit.
E. coli bisa menyebabkan diare, keracunan makanan, hingga infeksi saluran kemih. Kasusnya sangat umum dan sering muncul akibat makanan yang tidak higienis.
Sementara S. aureus menyebabkan bisul dan infeksi kulit ringan, namun dalam kondisi tertentu bisa menyerang darah, organ dalam, bahkan mengancam nyawa.
Masalahnya, banyak strain dari dua bakteri ini yang kini resisten terhadap antibiotik. Artinya, obat yang dulunya ampuh kini tak lagi mempan. Dunia bahkan diingatkan akan datangnya “era pasca-antibiotik”, di mana infeksi kecil bisa kembali mematikan.
Inilah alasan tim peneliti memilih kedua bakteri ini sebagai target utama. Jika Otok-otok mampu menahan laju pertumbuhan mereka, maka potensinya untuk dikembangkan sebagai antibakteri baru sangat menjanjikan.
87 Senyawa Aktif di Balik Daun Kecil
Hasil analisis menunjukkan daun Otok-otok menyimpan 87 senyawa aktif, mayoritas termasuk golongan flavonoid yang terkenal memiliki efek antioksidan, antiinflamasi, dan antibakteri.
Menariknya, ditemukan pula Aldgamycin I, antibiotik alami yang umumnya hanya dihasilkan oleh mikroba. Temuan ini mengindikasikan adanya simbiosis unik antara tanaman dan mikroba endofit yang hidup di dalam jaringan daunnya.
Untuk mengungkap mekanisme kerja senyawa tersebut, tim menggunakan dua pendekatan.
Pertama, analisis kimia menggunakan alat canggih yang dapat mengidentifikasi kandungan molekul di dalam daun.
Kedua, dilakukan simulasi komputerisasi atau uji in silico—yakni memodelkan interaksi senyawa Otok-otok dengan protein milik bakteri.
Sederhananya, setiap senyawa diuji seperti kunci yang dicocokkan ke gembok protein bakteri. Bila cocok, aktivitas bakteri akan terganggu. Hasil simulasi menunjukkan beberapa senyawa Otok-otok mampu menempel kuat pada target protein, bahkan hampir sekuat antibiotik medis.
Bukti Nyata di Laboratorium
Tak berhenti di simulasi, tim juga melanjutkan ke tahap uji laboratorium langsung (in vitro). Ekstrak daun Otok-otok diuji terhadap E. coli dan S. aureus di cawan petri.
Hasilnya tampak jelas: terbentuk zona bening di sekitar ekstrak, menandakan pertumbuhan bakteri berhasil dihambat.
Fenomena ini menjadi bukti kuat bahwa Otok-otok memiliki aktivitas antibakteri nyata, bukan sekadar hasil dugaan komputer semata.
Penelitian ini sekaligus menegaskan bahwa kearifan lokal dan sains modern dapat saling melengkapi. Apa yang dulu hanya dipercaya secara turun-temurun, kini mulai terverifikasi secara ilmiah.
Dari Dusun Banyuwangi untuk Dunia
Penemuan ini bukan hanya kabar baik bagi dunia akademik, tapi juga bagi upaya global melawan resistensi antibiotik.
Dari dusun kecil di Banyuwangi, muncul harapan baru bahwa tanaman lokal Indonesia bisa menjadi sumber inovasi kesehatan dunia.
Selain nilai ilmiahnya, riset ini juga punya nilai sosial-budaya tinggi. Ia menjadi contoh bagaimana pengetahuan tradisional bisa menjadi pijakan bagi penelitian modern, sekaligus menghidupkan kembali minat terhadap tanaman obat Nusantara.
Ke depan, penelitian lanjutan diperlukan untuk memurnikan senyawa aktif dan memastikan efektivitasnya secara klinis. Kolaborasi lintas bidang dan dukungan dari berbagai lembaga riset sangat dibutuhkan agar potensi besar ini dapat dikembangkan lebih jauh.
Penutup
Dari simbol penolak bala menjadi penakluk bakteri, Otok-otok membuktikan bahwa kearifan tradisi sering kali lebih cepat dari laboratorium.
Tanaman yang dulu hanya dipercaya menjaga dari roh jahat, kini terbukti punya peran menjaga dari ancaman nyata — penyakit akibat infeksi bakteri.
Tim peneliti menyampaikan terima kasih kepada Belmawa Kemdiktisaintek atas dukungan pendanaan PKM-RE 2025, yang telah membuka jalan lahirnya inovasi ini dari tanah Osing, Banyuwangi, untuk dunia kesehatan masa depan.
Siapa sangka, daun yang dulu dianggap mistis kini bisa jadi kunci melawan krisis antibiotik global?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI