Hola Amigos, edisi Saturday Morning kali ini saya masih melanjutkan pembahasan kita di minggu lalu, yang kemarin saya cerita akan dibagi menjadi 3 bagian tulisan. Nah ketika anda baca ini berarti anda sudah tiba pada lanjutan tulisan yang pertama. Jika anda belum baca, coba deh baca dulu di Saturday Morning #67 - "Silent Killer (1)" supaya nyambung, kan gak enak kalau baca tulisan putus nyambung, putus nyambung udah kayak judul lagu aja. Wkwkwkwk.
Minggu ini di bagian yang kedua, saya pingin membahas soal perfeksionis, kebetulan memang menjadi topik hangat di komunitas kami beberapa minggu terkahir tentang orang yang perfeksionis. Pasalnya ada seorang teman saya yang dulu SMA nya seangkatan dengan kami baru saja lulus kuliah dari sebuah kampus negeri di Jakarta.Â
Dulu jaman sekolah, waduh perfeksionisnya bukan nama, pelit berbagi ilmu, suka menguji teman yang padahal ia sendiri tahu jawabannya, selalu ingin nilai terbaik, namun kehidupan sosialnya cukup kurang baik. Memang Tuhan itu adil, orang yang pintar pasti kehidupan sosialnya buruk, justru yang sedang-sedang seperti kami ini seringkali di tengah jalur, kehidupan sosial nya dapat dan juga nilai akademis tidak juga buruk-buruk amat.
Jadi makanya kerap kali saya malah berpikir, memang begitulah manusia, saya percaya dalam hidup kita ini pasti ada sisi perfeksionisnya, ada yang perfeksionisnya di soal akademis, ada yang perfeksionis ketika bekerja, atau ada juga yang mungkin perfeksionis ketika berteman. Yang jelas tergantung orang dengan lajur-nya masing-masing.
Terkadang malah saya berpikir dengan keras dan muncul pertanyaan apakah hidup perfeksionis itu semu?
Apakah saya adalah seorang perfeksionis?
Apakah ini adalah sebuah alat pengukur kualitas diri yang positif?
Ternyata, walaupun terdengar positif, setelah membaca buku The Gifts Imperfection saya merasa bahwa perfeksionis itu malah membuat diri kita menjadi tidak bahagia. Mungkin perlu dipahami kalau menjadi perfeksionis tidak sama dengan menjadi versi terbaik dari dirimu atau pengembangan diri.Â
Kok tidak sama? Karena motivasinya yang berbeda. Perfeksionis berputar pada pengejaran diri pada suatu hal yang sempurna. Jika kita tampil sempurna, hidup dan berperilaku yang sempurna, maka kita akan dapat melindungi diri kita dari kritik, penilaian atau kesalahan. Artinya, semua itu bertujuan untuk melindungi kita dari rasa malu. Pola pikir ini cukup bahaya karena hidup sebagai perfeksionis berarti nilai diri kita bergantung pada dukungan atau penerimaan dari orang lain. Sedangkan dalam hidup ini pasti ada saja pro dan kontra, ada yang kadang bisa sependapat namun ada juga yang bisa jadi tidak sependapat dengan kita.
Kita dapat menghindari perfeksionisme dengan jujur tentang rasa takut kita soal rasa malu yang muncul dari omongan orang lain dan mengingatkan diri kita untuk melakukan segala sesuatu untuk diri kita sendiri daripada untuk orang lain. Misalnya, ketika waktu itu saya memutuskan untuk mengurangi berat badan, saya hanya berpikir saja pada saat itu untuk jangan membiarkan pendapat orang lain tentang kamu dan tubuhmu menjadi motivasi untuk mengurangi berat badan.Â