Mohon tunggu...
Ronaldus AdipatiKunjung
Ronaldus AdipatiKunjung Mohon Tunggu... Buruh - Freelance

Orang biasa yang tertarik pada dunia tulis menulis dan suka menulis yang tidak penting

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wada*

25 Mei 2022   08:06 Diperbarui: 25 Mei 2022   08:16 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kami bukan lagi dua melainkan satu. Setidaknya, kami telah menggenapi firman yang tertulis dalam Buku Suci: "Karena seorang istri akan meninggalkan ayah dan ibunya untuk kemudian bersatu dengan suaminya atau juga seorang suami akan pergi meninggalkan ayah dan ibunya untuk tinggal bersama dengan istrinya".

Hari-hari setelah pernikahan kami berlangsung dengan penuh kebahagiaan. Meski tak ada bulan madu, kami melewatinya dengan penuh romantis. Kecupan hangat di kening, tempat bercinta yang gonta-ganti di dapur, kasur, kamar mandi, menjadi penanda bulan-bulan awal pernikahan kami.

Bahkan cupang bekas gigitannya masih membekas di bagian tertentu tubuhku. Secara bergantian pula kami mengurus tetek bengek rumah tangga. Mencuci pakaian, menyeterika, menyapu rumah, dan lain sebagainya. Aku tahu bahwa jika aku membiarkannya bekerja sendiri, aku akan dikatai sebagai perempuan tak tahu diri.

Akh, aku tak mau suamiku jadi seperti Akum dalam sinetron dunia terbalik.

07 Mei 2011. Tanggal ini masih kucatat dalam diari klasik hadiah seorang sahabat waktu pernikahan kami. Setelah makan malam, sebagaimana biasa kami berdua bercengkrama tentang perilaku anak kami yang suka menendang dinding perutku, tentang persiapan kelahirannya, tentang masa depannya, tentang apa saja.

"Ma, ...............", agak ragu ia memanggilku.

"Kenapa, Pa?", jawabku sepontan.

"Saya mau ke Malaysia, Ma. Seorang teman kuliah saya dulu menelpon saya dan meminta saya ke Malaysia. Di sana ada lowongan guru untuk anak-anak TKI", katanya kepadaku.

Mendengar kata merantau itu, aku serasa ditampar berpuluh kali.

"Apa? Papa mau ke Malaysia? Apa tidak cukup dengan gaji dari sekolah sampai Papa merantau ke Malaysia?", jawabku agak marah.

"Ma, coba Mama bayangkan. Dengan gaji 400 ribu per bulan, kita mau makan apa? Apalagi semenjak sekolah di alihkan ke Propinsi, kami sudah tidak mendapat Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA). Mungkin lebih baik di sana Ma, lebih baik kita mencerdaskan anak di Negeri tetangga daripada anak Indonesia. Di sini guru tidak dihitung, baik profesi maupun penghasilannya", Ia menimpal lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun