Perdamaian di Ujung Padang Pasir: Prospek Damai Israel--Hamas di Bawah Bayang Presiden Trump dan KTT Mesir
Oktober 2025 menjadi babak baru diplomasi Timur Tengah. Di Sharm El-Sheikh, Mesir, para pemimpin dunia berkumpul membicarakan peluang perdamaian permanen antara Israel dan Hamas. KTT ini diselenggarakan oleh Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi, dengan dukungan langsung dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang kini kembali menjabat sejak Januari 2025.
Trump hadir dengan gaya khasnya: percaya diri, blak-blakan, dan sarat perhitungan geopolitik. Ia membawa gagasan besar yang ia sebut sebagai "Middle East Peace Reboot"---sebuah kebijakan lanjutan dari Abraham Accords (2020), namun kali ini dengan klaim bahwa pendekatannya "lebih realistis dan pragmatis."
Namun pertanyaannya tetap sama: apakah inisiatif Trump di Mesir ini benar-benar dapat menumbuhkan perdamaian abadi, atau sekadar jeda di tengah lingkaran kekerasan yang terus berulang di Gaza?
---
1. KTT Mesir: Diplomasi di Bawah Bayang Perang
KTT Perdamaian Gaza di Mesir dihadiri lebih dari 30 delegasi, termasuk negara-negara Arab, Uni Eropa, PBB, dan Indonesia. Presiden Prabowo Subianto hadir sebagai tamu resmi Mesir, menegaskan posisi Indonesia sebagai negara non-blok yang selalu konsisten mendukung kemerdekaan Palestina.
Trump, kini kembali di Gedung Putih, berperan dominan di balik diplomasi tersebut. Ia membawa utusan khusus, Jared Kushner, untuk memimpin perundingan teknis antara Israel, Mesir, dan Qatar---negara yang selama ini menjadi penghubung utama antara Hamas dan Barat.
Menurut laporan Reuters (12 Oktober 2025), kesepakatan awal di Mesir mencakup rencana "Zona Gencatan Permanen" di Jalur Gaza, pembukaan koridor kemanusiaan melalui Sinai, serta program rekonstruksi ekonomi senilai 10 miliar dolar AS yang sebagian besar dibiayai oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.
Trump dalam pidatonya di forum tertutup menyatakan, "Perdamaian bukanlah hadiah bagi pihak yang menang, melainkan kontrak bagi semua pihak yang ingin bertahan."
Namun di balik pernyataan diplomatik itu, sejumlah analis menilai bahwa KTT ini lebih merupakan upaya politik Trump untuk memperkuat kembali pengaruh AS di Timur Tengah setelah beberapa tahun ketegangan dan kebijakan tarik-ulur di era Biden.