"Tarif 19%: Ketika Kritik Dianggap Nyinyir, Bukan Alat Instropeksi"
---
Satu hal yang tak pernah absen dalam politik adalah suara sumbang. Tapi satu hal yang lebih memprihatinkan adalah ketika kritik publik dianggap sebagai 'nyinyir' belaka, bukan sebagai bahan introspeksi atau rambu peringatan dalam diplomasi ekonomi.
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto soal kritik terhadap tarif ekspor Indonesia ke Amerika Serikat pasca-negosiasi dengan Donald Trump---"Selalu ada yang nyinyir, itu gimana?"---membuka dua pertanyaan besar:
- Apakah pemerintah cukup transparan dalam menjelaskan hasil negosiasi dagang?
- Apakah kritik yang muncul memang layak dikebiri dengan kata 'nyinyir'?
Kronologi Singkat: Dari 32% ke 19%
Menurut laporan CNBC Indonesia (24 Juli 2025), Indonesia berhasil "menegosiasikan" penurunan tarif ekspor ke AS dari 32% menjadi 19% untuk produk-produk tertentu. Ini tentu disambut sebagai 'keberhasilan' diplomasi.
Namun, publik bertanya: Kenapa malah naik dibanding sebelumnya? Bukankah tarif Indonesia sebelumnya jauh lebih rendah ketika masih masuk dalam skema Generalized System of Preferences (GSP) atau bahkan Most Favored Nation (MFN)?
Di Mana Prestasinya?
Jika awalnya nol persen, lalu Trump menaikkan ke 32%, lalu Indonesia berhasil menegosiasikannya menjadi 19%, apakah itu bisa disebut kemenangan?
Perumpamaannya begini: rumah kita dirampok, tapi kemudian perampoknya mengembalikan sebagian barang, lalu kita bersyukur dan memuji si perampok karena "sudah tidak serakah lagi."
Dalam terminologi dagang internasional, kenaikan tarif sama artinya dengan penalti. Jika negara seperti Vietnam atau Meksiko tetap menikmati tarif rendah, sementara Indonesia malah diberi tarif khusus 19%, maka kita sedang dipinggirkan, bukan dirangkul.