Mohon tunggu...
Ronald Dust
Ronald Dust Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Musik dan Jurnalis

Seniman Musik dan Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pentingnya Membaca "Isi" setelah "Judul"

12 April 2019   13:31 Diperbarui: 12 April 2019   16:02 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Chris Benson on Unsplash 

"Kita diam, banyak artinya. Kita berkata-kata, banyak persepsinya. Kita menulis, beragam komentarnya."

Tujuan penulis adalah menyampaikan pesan melalui tulisan. Tentu saja para penulis ingin pesannya tersampaikan. Jika pesan tertulis itu dimaknai dengan salah oleh audiens, tentulah penulisnya akan merasa kecewa.

**

Di jaman hoaks dan propaganda seperti sekarang ini, kita harus ekstra hati-hati dalam menilai suatu berita, atau dalam hal ini, memaknai tulisan (artikel).

Jika Anda hanya membaca judul suatu artikel, Anda belum tentu mendapatkan pesan yang terkandung di dalam artikel tersebut. Sehingga apapun respons Anda mengenai artikel tersebut sangatlah diragukan.

Anda hanya akan melihat gerbang suatu rumah tanpa berdiam di dalamnya, sehingga Anda tidak mampu menceritakan pengalaman tinggal di dalam rumah tersebut.

Jika Anda hanya merespons judul tanpa mengetahui isi dari suatu artikel, kemungkinan besar Anda akan tertipu, sehingga orang yang mendengar komentar Anda juga tidak mendapatkan 'berita' yang benar.

Seandainya pun Anda membaca isi suatu artikel, Anda masih harus berusaha menemukan pesan yang terkandung di dalamnya. Setelah Anda tahu pesan yang ingin disampaikan artikel tersebut, adalah tugas Anda untuk memaknainya dengan benar.

Penilaian dan persepsi Anda terhadap suatu artikel sepenuhnya adalah kebebasan Anda. Tetapi jika Anda mengomentari hal yang bukan atau keluar dari isi pesan dari artikel yang Anda baca, maka proses literasi menulis-membaca ini akan sia-sia saja.

Judul artikel bisa dirancang sedemikian rupa dengan berbagai pertimbangan. Tetapi yang paling penting adalah isi dari karya tulisan tersebut. Sehingga Anda harus membaca "Isi" dengan teliti, setelah Anda melihat "Judul"-nya.

**

Kesalahpahaman pembaca terhadap apa yang ia baca itu banyak terjadi. Jeleknya, setelah salah paham, diskusinya menjadi ngawur.

Contohnya ketika saya memberikan hitung-hitungan untuk perkiraan jumlah massa di GBK melalui artikel berjudul "Kapasitas Seluruh Area GBK Hanya 260.000 Orang".

Komentar para netizen seolah kompak memberikan komentar serupa seperti "Lho, yang hadir di situ tanpa dimobilisasi, sukarela datang sendiri". Dalam artikel tersebut saya sama sekali tidak mempersoalkan bagaimana mereka datang ke GBK. Jika Prabowo tidak mengatakan yang hadir di GBK itu sebanyak 1 juta orang, saya tidak akan memulai artikel tersebut toh..(?)

Ada juga yang merespons seperti "Itung juga sama yang ada di luarnya doong..", seolah mereka tetap percaya yang ada di GBK itu 1 juta orang. Dalam artikel tersebut saya sudah memberikan rumusnya. Jika mereka percaya terhadap rumus matematika yang saya sampaikan, mereka bisa berhitung sendiri, hasilnya tidak akan sampai 1 juta juga.

Respons kontra yang saya harapkan melalui artikel tersebut adalah jika ada yang memberikan perhitungan perbandingan, sehingga nanti diskusinya nyambung. Wajar saja bukan?

Contoh lain seperti pada artikel saya yang berjudul "Antisipasi Chaos Pemilu 2019", yang telah dimodifikasi menjadi "Bagaimana Mengantisipasi Jika Pemilu 2019 Chaos?".

Rupa-rupanya banyak dari para pembaca yang juga merupakan netizen, beranggapan (atau sengaja beranggapan) bahwa artikel ini bersifat provokatif dan menakuti-nakuti masyarakat.

Jika Anda sempat membaca artikel tersebut, Anda akan melihat pesan yang saya tulis sebenarnya adalah: himbauan kepada kita semua agar tidak melakukan tindakan-tindakan atau tidak terlibat dalam aksi-aksi massa yang berpotensi pada kerusuhan, Chaos.

Mereka juga mengatakan bahwa penulis (saya) tidak percaya kepada TNI. Justru saya menghimbau kepada kita untuk membiarkan TNI/Polri yang menghadapi aksi-aksi massa, saya tuliskan juga dalam artikel tersebut.

Lalu pada artikel saya yang berjudul "Malaysia, Jangan Cari Gara-gara!". Banyak juga yang beranggapan bahwa artikel saya ini bernada seolah mengancam, menantang, provokatif, dan emosional.

Sebagian besar isi dari artikel tersebut adalah penyajian data. Bagian akhir dari artikel tersebut adalah: Ajakan untuk berkompetisi damai! Kata lainnya adalah: Berhenti mengajak berkonfrontasi dan bersepakat untuk berdamai, lalu bekerja sama satu sama lain. Bagaimana itu dikatakan ancaman?

Pada bagian komentar halaman artikel ini, bahkan ada Kompasianer, ibu R, yang sampai mem-bodoh-kan Kompasianer lain. Ini, penulis yang emosional, atau pembaca yang baper? *sigh

**

Marilah kita berliterasi dengan bijak. Menulis dengan bijak, membaca dengan bijak. Sehingga komentar pun menjadi bijak.

Baca judul, baca isi, pahami pesannya.

Salam Kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun