*)Neverland Bernama Indonesia. Evaluasi dan analisis dunia perpolitikan dan birokrasi Indonesia.
----------
Dalam kisah klasik karya J.M. Barrie, ada seorang bocah yang menolak tumbuh dewasa. Namanya Peter Pan. Ia tinggal di Neverland---sebuah negeri ajaib di mana waktu berhenti, tanggung jawab tak pernah datang, dan hidup hanyalah permainan tanpa akhir. Dulu kisah ini dianggap fantasi belaka. Kini, di dunia nyata, bayang-bayang Neverland itu justru terasa akrab.
Di tengah kemajuan teknologi, kenyamanan hidup, dan hingar bingar politik, kita melihat banyak orang dewasa yang enggan benar-benar menjadi dewasa. Mereka berumur, tapi tidak bertumbuh; berkuasa, tapi tak matang; bergaji besar, tapi mentalnya masih ingin bermain. Fenomena ini dikenal sebagai Peter Pan Syndrome.
1. Sindrom Peter Pan: Dewasa Secara Fisik, Anak-anak Secara Emosional
Istilah Peter Pan Syndrome pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Dr. Dan Kiley pada tahun 1983 dalam bukunya "The Peter Pan Syndrome: Men Who Have Never Grown Up."
Ia menggambarkan individu yang secara fisik sudah dewasa, namun secara emosional masih terjebak dalam pola pikir anak-anak: takut tanggung jawab, lari dari masalah, menolak komitmen, dan ingin bebas tanpa konsekuensi.
Mereka hidup di dunia fantasi di mana semua tampak menyenangkan, tanpa perlu memikul beban realitas. Tapi seperti halnya Peter Pan yang sebenarnya kesepian di Neverland, para "anak dewasa" ini sering kali menyembunyikan kekosongan batin di balik tawa dan gaya hidup santai.
Fenomena ini kini bukan lagi soal psikologi individual. Ia telah menjadi fenomena sosial, menjalar hingga ke pusat kekuasaan dan birokrasi.
2. Neverland Bernama Parlemen
Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pernah menyebut DPR sebagai "taman kanak-kanak."
Sekilas terdengar lucu, tapi sebenarnya sindiran itu mengandung diagnosis sosial yang tajam: banyak politisi kita belum dewasa secara emosional, meski secara biologis sudah matang dan berpengalaman.
Di "taman" itu, kita sering melihat:
*Anggota dewan yang lebih sibuk berdebat soal panggung dan citra daripada substansi kebijakan.
*Mereka yang takut menanggung tanggung jawab moral, tapi cepat menuduh orang lain.
*Mereka yang haus perhatian media, seolah politik adalah panggung sandiwara.
*Dan mereka yang lari dari realitas, menolak kritik, dan berlindung di balik kepentingan partai.