Prabowo dalam Penjara Oligarki: Presiden atau Tawanan Kekuasaan?
Pengantar
Ketika Prabowo Subianto resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, harapan publik langsung terbagi. Ada yang menaruh optimisme bahwa sosok mantan jenderal itu akan membawa arah baru setelah satu dekade kepemimpinan Jokowi. Namun, ada pula yang skeptis, menilai bahwa Prabowo tak akan benar-benar lepas dari jerat oligarki yang sudah lama mencengkeram republik ini. Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah Prabowo benar-benar presiden dengan kuasa penuh, atau sekadar tawanan dalam "penjara oligarki" yang tak kasatmata?
Istilah "penjara oligarki" bukan sekadar metafora. Ia menggambarkan bagaimana kekuatan segelintir elite politik dan ekonomi menguasai institusi negara. Partai politik dikuasai oleh pemilik modal, kampanye dibiayai oleh konglomerat, dan media besar dimiliki oleh taipan yang juga bermain di panggung kekuasaan. Dalam situasi ini, seorang presiden meski memiliki legitimasi formal, kerap harus berkompromi agar tetap bertahan.
Modal Kekuatan Prabowo
Secara konstitusional, Prabowo memiliki posisi sangat kuat. Ia memenangkan pemilu, mendapat mandat rakyat, dan memiliki akses penuh terhadap TNI, Polri, serta birokrasi negara. Koalisi partai-partai besar di DPR juga berada di belakangnya. Ditambah lagi, citra Prabowo sebagai mantan jenderal menghadirkan aura ketegasan yang memberi kepercayaan diri bagi sebagian kalangan.
Dengan modal itu, Prabowo seharusnya memiliki keleluasaan untuk menjalankan program prioritasnya---mulai dari ketahanan pangan, pembangunan manusia, modernisasi pertahanan, hingga diplomasi luar negeri yang lebih tegas.
Namun, modal ini tidak otomatis menjadikannya presiden yang merdeka. Justru, semakin besar koalisi yang menopang, semakin banyak pula kepentingan yang menagih janji. Inilah awal dari jebakan oligarki.
Cengkeraman Oligarki yang Mengikat
Dalam praktik politik Indonesia, dukungan di parlemen jarang diberikan cuma-cuma. Ada harga yang harus dibayar, biasanya berupa kursi menteri, proyek strategis, atau regulasi yang menguntungkan pihak tertentu.
Oligarki bekerja melalui tiga jalur utama:
1.Kontrol Politik. Partai-partai besar menuntut porsi kekuasaan di kabinet dan posisi strategis di DPR. Dengan begitu, mereka bisa mengendalikan jalannya kebijakan, bahkan memblokir program presiden bila dianggap merugikan kepentingan mereka.
2.Kontrol Ekonomi. Konglomerat yang mendanai kampanye menuntut balas jasa. Konsesi tambang, izin usaha, atau proyek infrastruktur bisa menjadi kompensasi. Akibatnya, kebijakan ekonomi negara sering lebih berpihak pada pemilik modal daripada rakyat kecil.
3.Kontrol Media. Mayoritas media arus utama dimiliki oleh taipan yang juga aktif berpolitik. Mereka bisa mengangkat atau menjatuhkan citra presiden hanya dengan framing pemberitaan.