Mohon tunggu...
Ronald SumualPasir
Ronald SumualPasir Mohon Tunggu... Penulis dan Peniti Jalan Kehidupan. Menulis tidak untuk mencari popularitas dan financial gain tapi menulis untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran karena diam adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Tall and brown skin. Love fishing, travelling and adventures.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Prabowo dalam Penjara Oligarki: Presiden atau Tawanan Kekuasaan?

2 September 2025   09:57 Diperbarui: 2 September 2025   10:06 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Prabowo dalam Penjara Oligarki: Presiden atau Tawanan Kekuasaan?

Pengantar

Ketika Prabowo Subianto resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia, harapan publik langsung terbagi. Ada yang menaruh optimisme bahwa sosok mantan jenderal itu akan membawa arah baru setelah satu dekade kepemimpinan Jokowi. Namun, ada pula yang skeptis, menilai bahwa Prabowo tak akan benar-benar lepas dari jerat oligarki yang sudah lama mencengkeram republik ini. Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah Prabowo benar-benar presiden dengan kuasa penuh, atau sekadar tawanan dalam "penjara oligarki" yang tak kasatmata?

Istilah "penjara oligarki" bukan sekadar metafora. Ia menggambarkan bagaimana kekuatan segelintir elite politik dan ekonomi menguasai institusi negara. Partai politik dikuasai oleh pemilik modal, kampanye dibiayai oleh konglomerat, dan media besar dimiliki oleh taipan yang juga bermain di panggung kekuasaan. Dalam situasi ini, seorang presiden meski memiliki legitimasi formal, kerap harus berkompromi agar tetap bertahan.

Modal Kekuatan Prabowo

Secara konstitusional, Prabowo memiliki posisi sangat kuat. Ia memenangkan pemilu, mendapat mandat rakyat, dan memiliki akses penuh terhadap TNI, Polri, serta birokrasi negara. Koalisi partai-partai besar di DPR juga berada di belakangnya. Ditambah lagi, citra Prabowo sebagai mantan jenderal menghadirkan aura ketegasan yang memberi kepercayaan diri bagi sebagian kalangan.

Dengan modal itu, Prabowo seharusnya memiliki keleluasaan untuk menjalankan program prioritasnya---mulai dari ketahanan pangan, pembangunan manusia, modernisasi pertahanan, hingga diplomasi luar negeri yang lebih tegas.

Namun, modal ini tidak otomatis menjadikannya presiden yang merdeka. Justru, semakin besar koalisi yang menopang, semakin banyak pula kepentingan yang menagih janji. Inilah awal dari jebakan oligarki.

Cengkeraman Oligarki yang Mengikat

Dalam praktik politik Indonesia, dukungan di parlemen jarang diberikan cuma-cuma. Ada harga yang harus dibayar, biasanya berupa kursi menteri, proyek strategis, atau regulasi yang menguntungkan pihak tertentu.

Oligarki bekerja melalui tiga jalur utama:
1.Kontrol Politik. Partai-partai besar menuntut porsi kekuasaan di kabinet dan posisi strategis di DPR. Dengan begitu, mereka bisa mengendalikan jalannya kebijakan, bahkan memblokir program presiden bila dianggap merugikan kepentingan mereka.
2.Kontrol Ekonomi. Konglomerat yang mendanai kampanye menuntut balas jasa. Konsesi tambang, izin usaha, atau proyek infrastruktur bisa menjadi kompensasi. Akibatnya, kebijakan ekonomi negara sering lebih berpihak pada pemilik modal daripada rakyat kecil.
3.Kontrol Media. Mayoritas media arus utama dimiliki oleh taipan yang juga aktif berpolitik. Mereka bisa mengangkat atau menjatuhkan citra presiden hanya dengan framing pemberitaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun