Transparansi sebagai Jalan Tengah
Jalan tengahnya sederhana tapi sulit: transparansi.
Pemerintah Jawa Barat harus membuka seluruh dokumen MoU dengan investor ke publik. Pengadaan barang dan jasa harus tetap melalui tender terbuka. AMDAL harus melibatkan partisipasi masyarakat. Program konservasi harus dikelola bersama dengan LSM, akademisi, dan masyarakat lokal.
Dengan cara itu, kolaborasi penguasa--pengusaha bisa berjalan tanpa meminggirkan rakyat kecil.
Penutup: Ujian Kepemimpinan Dedi Mulyadi
Sejarah akan mencatat langkah Dedi Mulyadi ini sebagai ujian besar kepemimpinannya. Ia bisa dikenang sebagai gubernur yang berani menggandeng modal besar demi membangun wilayah tertinggal. Atau, ia bisa tercatat sebagai pemimpin yang menyerahkan daerahnya ke pelukan oligarki.
Pilihan itu ada di tangannya. Dan penilai terakhirnya tetap rakyat kecil di Cianjur Selatan: apakah mereka benar-benar merasakan jalan mulus, pekerjaan layak, dan hutan yang lestari? Ataukah mereka hanya melihat gedung pabrik beton menjulang tanpa perubahan berarti dalam hidup mereka?
Dalam politik Indonesia, hubungan penguasa dan pengusaha selalu menjadi tarian di atas garis tipis. Jika tarian itu dilakukan dengan keseimbangan dan transparansi, rakyat akan ikut bergembira. Tetapi jika salah langkah, rakyatlah yang akan tergilas.
Referensi
*Tempo.co, Anatomi Kolusi Pengusaha-Militer (1999).
*Tempo.co, Kasus Tempo 2003 dan Tommy Winata.
*Mongabay, Konservasi Harimau Sumatra di Tambling.
*UNESCO, Ciletuh-Palabuhanratu UGGp.
*LKPP RI, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 jo. 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
*BNPB, Peta Risiko Bencana Jawa Barat.
Disclaimer
Tulisan ini adalah opini penulis yang disusun berdasarkan informasi dari media, laporan publik, dan regulasi resmi. Tidak dimaksudkan untuk menyerang pribadi atau lembaga tertentu, melainkan untuk memberikan perspektif kritis tentang relasi antara penguasa, pengusaha, dan rakyat dalam pembangunan daerah.