Mohon tunggu...
Ronald SumualPasir
Ronald SumualPasir Mohon Tunggu... Penulis dan Peniti Jalan Kehidupan. Menulis tidak untuk mencari popularitas dan financial gain tapi menulis untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran karena diam adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Graduated from Boston University. Tall and brown skin. Love fishing, travelling and adventures.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

BUMN, Bonus dan Tantiem: Antara Tata Kelola Profesional dan Politik Balas Jasa.

17 Agustus 2025   18:07 Diperbarui: 17 Agustus 2025   18:07 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

*Esai pendek ini, saya tulis dalam rangka merespon pidato Presiden Prabowo tanggal 16 Agustus 2025, dengan penekanan pada isu utama yaitu tentang penghapusan bonus dan tantiem di BUMN, evaluasi terhadap praktik tersebut bila dibandingkan dengan standar internasional, serta masalah tata kelola BUMN yang sarat konflik kepentingan.

BUMN, Bonus, dan Tantiem: Antara Tata Kelola Profesional dan Politik Balas Jasa

Pidato Presiden Prabowo pada 16 Agustus 2025 menjelang peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 mengandung sejumlah gagasan kontroversial, salah satunya adalah rencana penghapusan bonus dan tantiem bagi komisaris serta direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Gagasan ini segera memicu perdebatan: apakah kebijakan tersebut merupakan langkah menuju tata kelola korporasi yang lebih sehat, atau sekadar refleksi dari ketidakpuasan atas praktik buruk yang terjadi selama bertahun-tahun?

Untuk menjawabnya, kita perlu mengurai beberapa dimensi: aturan internasional mengenai bonus dan tantiem, mekanisme rekrutmen eksekutif profesional di perusahaan multinasional, fenomena politik balas budi dalam penunjukan komisaris BUMN di era Jokowi hingga Prabowo, hingga evaluasi apakah kebijakan ini tepat atau justru berisiko melemahkan daya saing BUMN.

Bonus dan Tantiem dalam Praktik Internasional

Secara umum, bonus dan tantiem merupakan instrumen kompensasi variabel yang diberikan kepada eksekutif perusahaan berdasarkan kinerja.
1.Bonus biasanya diberikan tahunan dan dikaitkan dengan pencapaian target operasional, laba bersih, atau Key Performance Indicators (KPI).
2.Tantiem, yang dikenal luas di Eropa, berasal dari kata Prancis tantme, berarti "bagian dari keuntungan". Tantiem diberikan sebagai persentase tertentu dari laba yang berhasil dicapai perusahaan.

Menurut OECD Principles of Corporate Governance (2015), kompensasi eksekutif harus:
*Transparan,
*Didasarkan pada kinerja jangka panjang,
*Tidak hanya mengejar keuntungan jangka pendek,
*Disetujui oleh pemegang saham.

Di perusahaan multinasional, bonus dan tantiem bukan sekadar "uang tambahan", melainkan bagian dari strategi menarik dan mempertahankan talenta terbaik. Harvard Business Review (2017) mencatat bahwa tanpa insentif kompetitif, perusahaan akan kesulitan merekrut eksekutif berpengalaman karena persaingan global semakin ketat.

Rekrutmen Eksekutif di Perusahaan Multinasional

Perusahaan multinasional (MNCs) yang beroperasi di berbagai negara, termasuk Indonesia, memiliki standar rekrutmen yang ketat. Ada tiga pertimbangan utama:
1.Kapasitas Profesional: pengalaman memimpin korporasi, integritas, dan rekam jejak keberhasilan.
2.Kompetensi Teknis dan Strategis: pemahaman atas pasar global, digitalisasi, serta kemampuan adaptasi pada regulasi lintas negara.
3.Independensi dan Tata Kelola: eksekutif tidak boleh memiliki benturan kepentingan yang dapat mengganggu kepentingan pemegang saham.

Bandingkan dengan BUMN di Indonesia, di mana posisi komisaris kerap diberikan kepada relawan politik, pensiunan pejabat, atau figur publik tanpa pengalaman manajerial memadai. Studi World Bank (2020) tentang BUMN di Asia menegaskan bahwa rendahnya kualitas tata kelola dan rekrutmen berbasis politik adalah penyebab utama inefisiensi.

Masalah Kronis Rekrutmen di BUMN Indonesia

Pada era Jokowi, publik dikejutkan dengan fenomena "BUMN jadi tempat parkir relawan". Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sejumlah akademisi seperti Prof. Emil Salim sudah mengingatkan bahwa praktik ini menciptakan moral hazard.

Contoh nyata:
*Penunjukan komisaris dari kalangan artis, politisi non-profesional, hingga relawan politik tanpa rekam jejak bisnis yang relevan.
*Komisaris rangkap jabatan, bahkan ada yang merangkap sebagai pejabat aktif di pemerintahan, menimbulkan konflik kepentingan serius.

Awal pemerintahan Prabowo pun tampak mengulang pola serupa. Pemilihan pengurus Danantara misalnya, masih diisi figur yang punya kedekatan politik dan latar belakang birokrasi, bahkan beberapa memiliki perusahaan pribadi yang berpotensi bentrok dengan kepentingan BUMN.

Akibatnya, BUMN rawan dijadikan kendaraan politik, bukan entitas bisnis profesional.

Menghapus Bonus dan Tantiem: Solusi atau Reaksi?

Langkah Presiden Prabowo untuk menghapus bonus dan tantiem pada dasarnya muncul dari kekecewaan terhadap tata kelola BUMN yang penuh KKN. Namun pertanyaannya: apakah ini solusi tepat, atau sekadar reaksi emosional?
1.Dari Perspektif Tata Kelola Internasional:
*Menghapus bonus/tantiem bukanlah praktik umum. Justru yang dibutuhkan adalah performance-based compensation dengan indikator jelas.
*Tanpa insentif, talenta profesional akan enggan bergabung. Akhirnya, posisi strategis akan terus diisi oleh orang dekat politik karena biaya masuk rendah.
2.Dari Perspektif Praktik di Indonesia:
*Karena banyak jabatan diisi oleh relawan atau politisi tanpa kinerja nyata, publik melihat bonus/tantiem sebagai pemborosan.
*Dalam konteks ini, wacana penghapusan menjadi masuk akal. Namun problem utamanya bukan pada skema kompensasi, melainkan proses rekrutmen dan tata kelola.

Lebih Jauh: Isu Pemangkasan Hak Pegawai BUMN

Belakangan muncul isu bahwa bukan hanya bonus direksi yang akan dihapus, tetapi juga:

*Struktur gaji di bawah direksi,

-Bonus pada kevel manajemen dan karyawan

*Uang cuti,

*Uang hari raya,

diganti dengan uang lauk pauk ala sistem TNI/ASN, serta penyesuaian gaji dengan standar ASN.

Jika kebijakan ini benar diterapkan, ada dua konsekuensi besar:
1.Profesionalisme BUMN Tergerus: Menyamakan pegawai BUMN dengan ASN mengabaikan fakta bahwa BUMN adalah entitas bisnis yang harus bersaing dengan swasta dan MNC.
2.Brain Drain: Talenta terbaik akan memilih pindah ke sektor swasta atau MNC yang menawarkan kompensasi lebih kompetitif.

Dalam laporan McKinsey (2022) tentang emerging markets, dijelaskan bahwa perusahaan negara yang tidak mampu memberikan kompensasi kompetitif akan kehilangan daya tarik di pasar global.

Evaluasi: Jalan Tengah yang Seharusnya Ditempuh

Jika tujuan Presiden Prabowo adalah membersihkan BUMN dari praktik KKN, maka langkah utama seharusnya:
1.Reformasi Rekrutmen
*Terapkan prinsip fit and proper test yang transparan.
*Komposisi komisaris independen diperbesar, bukan relawan politik.
2.Reformasi Kompensasi
*Bonus dan tantiem tidak dihapus, melainkan dikaitkan dengan Key Performance Indicator ketat seperti:  efisiensi operasional, laba bersih, kontribusi dividen ke negara.
*Jika target gagal, bonus dan tantiem otomatis disesuaikan dengan realisasi versus target. Apabila rugi, no incentive at all!
3.Penguatan Regulasi untuk mengatasi masalah Konflik Kepentingan
*Larangan rangkap jabatan birokrat atau politisi di BUMN.
*Audit independen terhadap semua entitas BUMN, untuk menilai disiplin dan manajemen tata kelola keuangan BUMN.

Dengan demikian, BUMN bisa tetap kompetitif, namun bebas dari praktik nepotisme.

Kesimpulan

Pidato Presiden Prabowo soal penghapusan bonus dan tantiem di BUMN tidak boleh dilihat sekadar sebagai wacana penghematan, melainkan refleksi dari krisis tata kelola. Bonus dan tantiem sejatinya bukan masalah, asalkan diberikan dengan mekanisme transparan berbasis kinerja.

Masalah terbesar BUMN Indonesia ada pada politik balas jasa dalam rekrutmen, yang menggerus profesionalisme. Jika tidak diatasi, wacana penghapusan bonus hanya akan memperburuk keadaan: talenta profesional akan lari, sementara jabatan tetap dipenuhi figur politis.

BUMN membutuhkan reformasi menyeluruh: mulai dari tata kelola, rekrutmen, hingga sistem insentif yang sehat. Tanpa itu, BUMN akan terus menjadi "sapi perah politik", bukan motor pembangunan ekonomi bangsa.

Referensi
*OECD (2015). Principles of Corporate Governance.
*Harvard Business Review (2017). How to Pay Executives in the 21st Century.
*World Bank (2020). State-Owned Enterprises in Asia: Governance and Performance.
*McKinsey Global Institute (2022). The Future of State-Owned Enterprises in Emerging Markets.
*Laporan KPK (2021). Tata Kelola dan Risiko Korupsi di BUMN.

Disclaimer

Tulisan ini merupakan analisis independen berbasis data dan literatur. Tidak dimaksudkan untuk menyerang individu maupun kelompok tertentu, melainkan sebagai refleksi kritis atas kebijakan publik dalam tata kelola BUMN.

Tagar

#BUMN #Prabowo #EkonomiIndonesia #CorporateGovernance #TataKelolaBUMN #BonusTantiem #KebijakanPublik

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun