Masalah Kronis Rekrutmen di BUMN Indonesia
Pada era Jokowi, publik dikejutkan dengan fenomena "BUMN jadi tempat parkir relawan". Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sejumlah akademisi seperti Prof. Emil Salim sudah mengingatkan bahwa praktik ini menciptakan moral hazard.
Contoh nyata:
*Penunjukan komisaris dari kalangan artis, politisi non-profesional, hingga relawan politik tanpa rekam jejak bisnis yang relevan.
*Komisaris rangkap jabatan, bahkan ada yang merangkap sebagai pejabat aktif di pemerintahan, menimbulkan konflik kepentingan serius.
Awal pemerintahan Prabowo pun tampak mengulang pola serupa. Pemilihan pengurus Danantara misalnya, masih diisi figur yang punya kedekatan politik dan latar belakang birokrasi, bahkan beberapa memiliki perusahaan pribadi yang berpotensi bentrok dengan kepentingan BUMN.
Akibatnya, BUMN rawan dijadikan kendaraan politik, bukan entitas bisnis profesional.
Menghapus Bonus dan Tantiem: Solusi atau Reaksi?
Langkah Presiden Prabowo untuk menghapus bonus dan tantiem pada dasarnya muncul dari kekecewaan terhadap tata kelola BUMN yang penuh KKN. Namun pertanyaannya: apakah ini solusi tepat, atau sekadar reaksi emosional?
1.Dari Perspektif Tata Kelola Internasional:
*Menghapus bonus/tantiem bukanlah praktik umum. Justru yang dibutuhkan adalah performance-based compensation dengan indikator jelas.
*Tanpa insentif, talenta profesional akan enggan bergabung. Akhirnya, posisi strategis akan terus diisi oleh orang dekat politik karena biaya masuk rendah.
2.Dari Perspektif Praktik di Indonesia:
*Karena banyak jabatan diisi oleh relawan atau politisi tanpa kinerja nyata, publik melihat bonus/tantiem sebagai pemborosan.
*Dalam konteks ini, wacana penghapusan menjadi masuk akal. Namun problem utamanya bukan pada skema kompensasi, melainkan proses rekrutmen dan tata kelola.
Lebih Jauh: Isu Pemangkasan Hak Pegawai BUMN
Belakangan muncul isu bahwa bukan hanya bonus direksi yang akan dihapus, tetapi juga:
*Struktur gaji di bawah direksi,
-Bonus pada kevel manajemen dan karyawan