Rocky Gerung vs Kang Dedi Mulyadi: Antara Filsafat, Teologi, dan Psikologi dalam Membentuk Karakter Bangsa
Pendahuluan
Di tengah carut-marut pendidikan karakter di Indonesia, muncul dua tokoh publik dengan pendekatan yang nyaris berlawanan: Rocky Gerung (RG), filsuf publik yang dikenal dengan kritiknya yang tajam dan menggelitik logika, serta Kang Dedi Mulyadi (KDM), mantan bupati Purwakarta dan sekarang Gubernur Jawa Barat yang dikenal lewat program pembentukan karakter ala barak militer namun dengan sentuhan kearifan lokal Sunda.
Menariknya, kedua tokoh ini sama-sama mengklaim (secara langsung atau implisit) bahwa pendidikan kita gagal membentuk manusia Indonesia yang kritis sekaligus beretika. Bedanya, Rocky memilih jalur dialektika, sementara KDM memilih jalur disiplin praksis.
1. Pendekatan Filsafat
Rocky Gerung
Rocky berangkat dari tradisi filsafat kritis, menekankan keberanian mempertanyakan segalanya, bahkan hal-hal yang dianggap tabu. Seperti Socrates, ia mendorong publik untuk tidak menerima klaim kebenaran tanpa pengujian rasional. Dalam konteks Indonesia, ini seperti melawan arus budaya "nrimo" yang cenderung menghindari konfrontasi intelektual.
KDM
KDM mempraktikkan filsafat pragmatis ala John Dewey: teori hanya berguna jika diwujudkan dalam tindakan yang nyata dan bermanfaat bagi masyarakat. Programnya menempatkan anak-anak di lingkungan terstruktur, mirip barak militer, untuk menginternalisasi nilai disiplin, kepemimpinan, dan kerja sama.
Kontrasnya jelas: Rocky menekankan membebaskan pikiran, sedangkan KDM menekankan membentuk perilaku.
2. Pendekatan Teologi
Rocky Gerung
Meskipun tidak memosisikan diri sebagai tokoh agama, Rocky memandang agama sebagai wilayah kebudayaan yang patut ditafsir ulang secara kritis. Ini selaras dengan pendekatan teologi kontekstual yang mempertimbangkan perubahan zaman, nilai kemanusiaan, dan akal sehat dalam memahami teks suci.
KDM
KDM jarang berdebat soal doktrin teologis, tetapi menanamkan nilai moral yang secara substansial selaras dengan ajaran agama: hormat kepada orang tua, menjaga kebersihan, dan menolong sesama. Pendekatannya mirip teologi praksis --- fokus pada perbuatan nyata, bukan perdebatan teoretis.