Pendidikan Tinggi Dibisniskan: Mengapa Indonesia Gagal Menjamin Akses Pendidikan Tinggi Gratis Seperti Jerman?
Oleh: Ronald Sumual Pasir
Pendahuluan:
Di berbagai negara, pendidikan tinggi telah menjadi instrumen strategis dalam memajukan bangsa. Negara-negara seperti Jerman, Norwegia, Finlandia, bahkan Argentina, telah memberikan pendidikan tinggi gratis sebagai bagian dari investasi jangka panjang terhadap kualitas manusia dan peradaban. Ironisnya, di Indonesia --- negeri yang konon "gemah ripah loh jinawi" --- pendidikan tinggi justru dijadikan komoditas pasar. Biaya kuliah mahal, sistem UKT (Uang Kuliah Tunggal) seringkali tidak transparan, dan BUMN-BUMN pendidikan menjelma jadi semacam "PT komersial" berbalut akademik.
Apa yang salah? Apakah ini sesuai dengan amanat konstitusi kita sendiri?
Negara-Negara yang Memberikan Pendidikan Tinggi Gratis:
Beberapa negara yang berhasil menjamin pendidikan tinggi tanpa biaya (atau sangat murah) antara lain:
1.Jerman -- Pendidikan tinggi negeri gratis untuk semua, termasuk mahasiswa internasional.
2.Norwegia & Finlandia -- Bebas biaya untuk warga negara dan mahasiswa Uni Eropa, serta murah untuk internasional.
3.Swedia & Denmark -- Gratis untuk warga negara.
4.Argentina -- Pendidikan tinggi publik gratis dan terbuka.
5.Slovenia, Republik Ceko, Yunani -- Menyediakan universitas negeri gratis atau sangat murah.
Filosofi negara-negara ini sederhana namun bernas: pendidikan bukan hak istimewa, tetapi hak dasar. Negara hadir bukan sebagai pedagang ilmu, tetapi sebagai fasilitator pencerdasan.
Mengapa Indonesia Tidak Melakukan Hal yang Sama?
1. Perspektif Anggaran:
Dalam RAPBN 2026, pemerintah Indonesia mengalokasikan subsidi listrik hingga Rp97--104 triliun, namun anggaran pendidikan tinggi masih sangat terbatas dan cenderung menurun secara riil. Pemerintah kerap beralasan bahwa anggaran negara terbatas dan universitas harus "mandiri", padahal "kemandirian" ini sering berarti komersialisasi.
2. Komersialisasi Pendidikan via BHMN, PTN-BH:
Banyak kampus negeri kini berubah status menjadi PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri -- Badan Hukum) yang memungkinkan mereka menetapkan tarif UKT tinggi, membuka program non-reguler yang mahal, hingga membuka lini bisnis. Hal ini menimbulkan kesan pendidikan menjadi ladang cuan, bukan lagi ruang pengabdian dan pencerdasan.