Mohon tunggu...
Romi Lie
Romi Lie Mohon Tunggu... Pelajar -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kajian Hubungan Gereja dan Negara Menurut Reformator Johanes Calvin

27 November 2018   14:14 Diperbarui: 27 November 2018   14:30 1437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Apa yang diutarakan oleh Christian de Jonge, bahwa pada awalnya Gereja dan Negara saat itu; biarpun merupakan suatu organisasi yang berbeda, namun menyangkut orang-orang yang sama, yakni seluruh masyarakat. 

Istilah yang digunakan untuk mengambarkan keadaan ini disebut corpus Christianum, artinya tubuh Kristen.

Dengan istilah ini, yang dimaksudkan adalah adanya anggapan bahwa masyarakat merupakan suatu kesatuan, dan gereja sebagai jiwa dan negara sebagai tubuh. Gereja mengurus masalah-masalah yang berhubungan dengan keselamatan abadi, sedangkan pemerintah memajukan kesejahteraan manusia di dunia ini dan dua-duanya bekerja sama demi kemulian nama Kristus dan Allah (Christian de Jonge, 2001, hlm. 264)

Pokok pikiran corpus Christianum ini sangat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran yang dikemukakan oleh Augustinus dalam bukunya De civitate Dei (tentang Negara Allah). Menurut Agustinus gereja di dunia ini adalah persekutuan semua warga negara Allah yang sedang menuju kepada keselamatan surgawi dan gerejalah yang melayani kepada anggotanya, semua yang perlu untuk keselamatan itu, yaitu Firman dan Sakramen-sakramen. Sementara itu, negara juga menggunakan kuasanya untuk melindungi orang yang baik terhadap orang yang jahat. Sehingga pemerintah Kristen dapat ikut menyumbangkan pada kemajuan negara Allah.

Namun, pada abad pertengahan, kerjasama antara gereja dan pemerintah tidak selalu memperlihatkan keselarasan yang dinyatakan dalam gagasan Corpus Christianum. Khususnya sejak sekitar tahun 1050, di mana pertikaian tentang pertanyaan siapa yang memegang kuasa tertinggi di masyarakat Kristen (Christian de Jonge, 2001, Op.Cit). Gereja menuntut kuasa atas negara, alasannya ialah karena yang rohani lebih agung dari yang jasmani dan duniawi. Juga pemerintah berpendapat bahwa negara, karena tugasnya, boleh mencampuri urusan gereja kalau kesejahteraan masyarakat dibahayakan oleh gereja (Ibid). Dan pertikaian ini semakin tajam hingga pada akhir abad pertengahan, menjelang reformasi. Negara semakin kuat dan tidak mau lagi diatur oleh gereja.

Jadi yang menimbulkan permasalahan antara gereja dan Negara pada abad pertengahan yaitu bahwa gereja cenderung mendikte pemerintah tentang bagaimana harus mengasuh gereja, maupun bahwa Negara dalam upaya untuk menompang gereja campur tangan dalam urusan internal gereja. Dan hal inilah-salah satu bagian yang ditentang oleh Johannes Calvin.

Di Jenewalah Calvin menjadi seorang reformatoris, karena ia diundang untuk ikut mereformasikan gereja di Jenewa oleh Farel. Mengapa Farel mengundang Calvin? Menurut H. Berkhof dalam bukunya sejarah gereja bahwa Jenewa adalah sebuah kota yang diperintah oleh seorang uskup, tetapi sudah lama Hertog Savoya, yang berkuasa di daerah Selatan Jenewa, ingin memasukkan kota Jenewa tersebut ke dalam kerajaannya. Ketika bahaya itu meningkat, maka Jenewa mencari bantuan pada perserikatan kanton-kanton injili. Bantuan politik itu diberikan kepada Jenewa oleh kanton-kanton injili dan atas desakkan kanton Bern dan karena pertentangan politik antara Jenewa dengan Savoya yang beragama Katolik Roma, maka Jenewa menerima pembaharuan pada tahun 1535 (H. Berkhof dan I. H. Enklaar, 1996, hlm. 160). Dan untuk menangani hal inilah maka Farel meminta bantuan Calvin dalam membina kehidupan rohani warga Jenewa.

Setelah Jenewa membebaskan diri dari uskupnya, pemerintah kota mulai mereformasikan gereja dengan mengikuti gaya reformasi gereja di Swiss. Salah satu corak reformasi Swiss adalah bahwa pemerintah kota mencabut hak Gereja Katolik Roma untuk mengekskomunikasikan orang dan memberikannya kepada dirinya sendiri (Christian de Jonge, 2001, hlm. 29). Dan tindakkan ini ditolak oleh Calvin, karena mengurangi kebebasan gereja. 

Sehingga pada akhir tahun 1536 Calvin menyusun tata gereja baru bersama dengan Farel sebagai langkah awalnya dalam memulaikan pekerjaaannya, dalam rangka menata kembali kehidupan warga kota Jenewa. Karena bagi Calvin, agar nyata bahwa Krituslah Tuhan jemaat, maka perlu ada disiplin. Namun, disiplin yang ada itu tidak boleh diserahkan di tangan pemerintah (dewan kota). Sebab Kristus sendirilah kepala Gereja; sehingga pemerintah dunia tidak berhak dalam urusan perkara-perkara yang semata-mata mengenai hidup Gereja sendiri  (H. Berkhof dan I. H. Enklaar, 1996, hlm. 161). 

Dalam hal ini, Bantuan pemerintah dalam reformasi bukannya tidak dihargai, tetapi hanya untuk menyatakan kalau Gereja adalah milik Kristus dan pendeta bukan pegawai pemerintah, melainkan pelayan Firman yang bertanggung jawab kepada Tuhan (Ibid. hlm. 30). Dari gagasannya inilah, maka Calvin bersama Farel mendapatkan perlawanan dari Dewan kota Jenewa. Sehingga dewan kota melarang pendeta-pendeta naik mimbar. Dan yang lebih anarkisnya lagi ialah pada bulan April 1538, Calvin bersama Farel dipecat dan dibuang (Ibid. 162). 

Demikian juga halnya di kota-kota lain, di mana pemerintah menganggap gereja sebagai miliknya, maka Calvin tampil untuk menolak sikap seperti itu. Jadi, hal inilah yang melatar belakangi pemikiran Calvin tentang hubungan antara Gereja dan Negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun