Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Uang Merah

5 April 2020   10:56 Diperbarui: 5 April 2020   10:58 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto gratis dari PicArts

Waktu Isya' telah aku tinggallan beberapa menit yang lalu. Lompatan setelahnya kuujudkan dengan menelusuri ruas jalan kota dengan bersepeda. Kayuhanku mantap sesekali berzig-zag mengikuti bisikan hati. Mengendalikan stang dilintasan paving blok tepi jalan mendapatkan goncangan kecil yang tidak berkesudahan. 

Tujuanku bersepeda malam malam adalah mencari kaum pengembara yang biasa menata peraduan didepan toko. Ya, mereka kaum urban dari wilayah pedesaan yang mengepung kota. Semenjak wabah misterius merembet menghantam republik ini, kehidupan manusianya menjadi terganggu. 

Kekuatiran terpapar wabah membuat masyarakat mengurangi aktivitas dilapangan. Seruan berdiam diri dirumah disambut masam oleh pengembara jalanan. Mereka terhantam prahara. 

Pemasukan tergerus karena job menghilang seiring himbauan stay at home. Sebenarnya aku juga bagian dari mereka. Cuma, sebuah keajaiban muncul diawal merebaknya wabah itu.

Bunyi genta berklintingan dari gerbang mengangkat tubuhku agar beranjak menuju sumbernya. Seorang lelaki muda berdiri tepat didepanku.

"Apakah ini rumah bapak Aditama Nugraha?"

"Ya, benar. Saya yang punya nama itu", jawabku

"Boleh saya masuk, pak?"

Aku persilahkan pemuda itu. Teras rumah menjadi ajang bagi pembicaraan selanjutnya. Pemuda itu memilih kursi tua peninggalan nenek di sudut. Pandangannya mengguyur penuh selidik.

"Ada maksud apa mencari saya?", tanyaku.

"Benar bapak yang bernama Aditama Nugraha?". Ia mengulangi lagi pertanyaannya. Aku jadi bingung.

"Sudah saya jawab tadi"

"Pak, dengan tidak mengurangi rasa hormat, bolehkah saya melihat KTP bapak?"

Disini aku mulai dongkol. Sialan bener anak muda ini. Lagaknya bak polisi.

"Bapak jangan tersinggung. Saya hanya ingin memastikan"

Aku keluarkan KTP, kemudian kuberikan padanya. Tidak lebih dari satu menit, dia berikan kembali benda tipis itu.

"Maksud kedatangan saya untuk menyampaikan amanat"

"Sebentar, mas. Saya belum tahu nama kamu"

"Andreas, nama saya". Dia melanjutkan,"Dulu bapak pernah menimba ilmu di(Andreas menyebut institusi pendidikan), angkatan sebelas?"

"Darimana kamu tahu?"

"Masih Ingat dengan salah satu pengajarnya yang bernama pak Jauhari?"

"Beliau mengajar kelas desain Produk. Hubungan dengan kamu?", tanyaku

"Alhamdulillah.....", ada binar kebahagiaan pada raut wajahnya.

"Pak Jauhari adalah ayah saya"

Aku kaget. Ingatanku ditarik di tahun 1993. Masa itu menjadi ladang perjuanganku. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas(SMA) aku hijrah dari kota pedalaman Jawa Tengah melenting ke Jakarta. Hasrat ingin berhasil dalam karier meletupkan tekadku mengarungi belantara ibukota. Hingga aku melanjutkan pendidikan disebuah sekolah desain. 

Disinilah aku bertemu pak Jauhari. Hubungan kami tidak dekat, biasa saja. Hanya, namaku mencuat diantara siswa lain angkatan sebelas, karena setiap tugas aku selesaikan dengan cepat dan sesuai kriteria. Pendidikan yang aku tempuh hanya satu tahun. Di purna pendidikan, tugas akhir memaksa aku mati-matian menuntaskan dengan maksimal.

"Karya yang kalian buat bisa diambil nanti di ruang G", ujar pak Jauhari.

Diantara karyaku, ada satu yang hilang. Sebuah logo untuk produk kemasan. Tapi aku tidak permasalahkan. Sampai akhirnya aku memutuskan pulang kampung. Bekerja pada perusahaan advertising hingga meletusnya tragedi '98.

"Ini amanat dari ayah, pak". Andreas meletakkan amplop coklat didepanku.

"Apa ini?"

"Didalamnya ada surat. Bisa bapak baca"

Aku membuka amplop. Keterkejutan menyentak, kala jemariku menarik lembaran putih menyembulkan gepokan  uang merah. Aku baca surat itu......

"Ayah merasa bersalah. Ia minta maaf. Semoga bapak mau memaafkan", kata Andreas."Uang tersebut sebagai pengganti atas kekhilafannya"

Isi surat itu menguatkan aku akan dugaanku selama ini. Logo ciptaanku digunakan tanpa ijin dan menempel pada toilet jongkok. Aku ketahui ketika kunjungan disebuah gedung pertemuan di kabupaten tetangga. Bentuk itu tidak asing. Garisnya, bahkan warna coklat pada desain itu sangat familiar. 

Namun, aku selalu mencoba memupus pikiran negatif yang menempel dibenak. Aku sudah berhasil melupakannya. Tapi di akhir tahun itu, Desember 2019, Tuhan memberikan keajaiban buatku, kedatangan Andreas.

Jalanan kian sepi setelah bakda Isya'. Biasanya, kota ini malah menggeliat jika rembang senja pergi menuju tapal batas. Namun, wabah berhasil membuat perbandingan. Maklumat Kapolri menambah tekanan pada pelaku usaha, pun di waktu malam. 

Derit rantai pada tumpukan gir menimbulkan irama kodok, mengoyak kesunyian. Gelayut sepi kian tebal seiring sorot cahaya bulan muntah dari tabirnya. Tanpa basa-basi pelukan sepi membalut sudut kota yang aku datangi. Gerai-gerai telah ditutup. 

Lampu-lampu kota dibeberapa titik dipadamkan sebagai upaya agar tidak menarik kumpulan orang, atau menambah daya mistis di tengah kondisi ini. Sweeping tiap malam dilakukan oleh aparatur negara bila mendapati kerumunan masih menyala. 

Jam sepuluh malam batas dari semua kegiatan. Tapi beberapa lainnya mematok batas diri lebih awal. Bahkan beberapa mall menutup gerainya sesuai masa KLB.

"Pak", suaraku lirih sambil menepuk tepuk tubuh-tubuh yang tergolek pulas didepan toko.

"Ada apa?", suara nestapa berpadu letih. Mereka mengeryitkan mata. Nyawanya belum terkumpul.

"Buat beli makanan, pak", kataku sembari menyodorkan  selembar uang merah.

"Alhamdulillah....akhirnya besuk bisa makan", ujar si bapak

"Memangnya sepi ya, pak?", tanyaku bodoh

"Iya, mas. Semenjak wabah datang penumpang semakin jarang"

"Becaknya milik sendiri?"

"Iya, mas"

Bapak itu membantuku membangunkan rekan-rekannya yang tertidur pulas. Balutan sarung apek melindungi mereka dari sengatan nyamuk serta udara malam. Kegembiraan melekat ketika tangan mereka menggenggam pemberianku. Itu uang merah dari Pak Jauhari. 

Selama hidup belum pernah aku mempunyai uang sebanyak itu. Setengahnya aku putuskan untuk dibagi pada kaum tuna. Dengan nilai segitu aku bisa hidup sederhana dua tahun tanpa kerja.  

Aku menghela napas. Pikiran melalang berkelindan tanpa tangkapan. Anak muda dihadapanku hanya menatapku. Ia menunggu sesuatu keluar dari mulutku.

"Bagaimana kabar, pak Jauhari?"

Wajah Andreas tertunduk. Aku menduga ada hal menyedihkan menimpa mantan tutorku.

"Ayah sakit stroke. Sudah sepuluh tahun, pak"

"Innalillahi....", lirihku

"Ayah meminta kami untuk mencari keberadaan muridnya, yaitu bapak"

"Bagaimana kamu bisa temukan?"

"Facebook", jawab Andreas,"Nama Aditama Nugraha ternyata dipakai oleh banyak akun. Lewat pencarian panjang akhirnya mengerucut pada akun bapak. Dan untungnya, foto profile yang dipakai adalah foto kala bapak masih muda, jadi memudahkan kami"

Perbincanganku dengan Andreas harus dipotong oleh ajakanku agar ia menyantap makanan yang aku suguhkan. Dengan lahap ia memasukkan bongkahan nasi bandeng dari warung Hik depan rumah. 

Ia kelaparan, terlihat kunyahannya bertekstur nikmat. Dua bungkus diselesaikan dalam waktu cukup cepat. Keringat bertimbulan memenuhi wajahnya. Selembar tisu terkoyak menyerap cairan tersebut.

"Kamu menginap?"

"Tidak pak. Nanti sore saya langsung pulang ke Jakarta, tiketnya sudah saya pesan"

Ia menyeruput es teh manis. Lega.

"Kamu kerja dimana?"

"Di perusahaan pembuatan keramik. Kalau Bapak?"

"Ojol-ojek online"

"Keluar dari dunia desain?"

Aku mengangguk. Kuceritakan alasanku. Anak muda itu manggut-manggut, entah apa dalam pikirannya.

Obrolan kami tanpa terasa telah memakan waktu lama. Andreas pamit pulang. Sebelumnya minta nomer HP dan foto diriku,"Biar ayah tahu kalau anaknya telah menemukan sosok mantan muridnya". Aku hanya sunggingkan senyum.

Aku memaksa akan mengantarkan dirinya. Awalnya menolak. Tapi kegigihanku meluluhlantakkan daya tolaknya.

Diperjalanan menuju stasiun Balapan kami menyambung obrolan yang ringan. "Baru kali ini saya ke kota ini, pak. Sepertinya nyaman untuk ditinggali?"

Aku jelaskan pada Andreas, kenyamanan itu hakekatnya terbentuk dari hati. Aku ceritakan mengenai kota ini yang mulai ditimpa kemacetan di beberapa ruas jalan,"Memang tidak separah Jakarta, Ndre"  

Dipintu masuk stasiun anak muda itu mengucapkan rasa terimakasihnya. "Kalau sampai rumah hubungi saya. Saya ingin video call sama ayahmu"

Ia mengangguk dan berjalan memasuki pintu stasiun.

Malam-malam selanjutnya kayuhan sepedaku semakin memperpanjang jarak. Hampir setengah kota terjajah. Beberapa warung Hik aku pergoki nekat buka. Mereka melawan maklumat kapolri. "Kalau tidak jualan, pundi-pundi kami akan mengering, mas"

"Bapak tidak takut tertular? Wabah ini ganas lho, pak"

"Saya pasrah saja. Yang penting social distancing saya terapkan, diantaranya, saya anjurkan pembeli membungkus makanannya dan dibawa pulang"

"Kalau ada yang ngeyel?"

"Saya biarkan saja"

Dipandu suara hati tebaran uang dari mantan pengajarku tergenggam pada tangan-tangan pengembara malam. Cara Tuhan menolongku disaat aku terimbas dampak hantu pandemik sungguh mengagetkan. Benar, diktum bahwa Allah akan memberikan rejeki dari arah yang tidak disangka terbukti padaku.

Status Kejadian Luar Biasa(KLB) pada kota ini telah menyusutkan pendapatan masyarakat. Aku tidak bisa bayangkan jika benar lockdown diterapkan. Apa jadinya?

Aku lihat bintang dilangit tetap setia dengan takdirnya. Kerlipnya tanpa lelah membimbing arah sepedaku. Dia mengerti kemana tujuan selanjutnya yang akan aku susuri. 

Aku berhenti, semakin malam pandanganku hanya disuguhi kebekuan kota. Kucing liar melintas tenang tanpa timbulkan huru-hara. Kembali aku kayuh pedal mencari para pengembara papa.

Siang itu, base camp ojol di barat rumah sakit aku sambangin. Beberapa rekan menggelosor tiduran di tikar.

"Seko ngendi, pak Adi?"(darimana, pak Adi)

"Karanganyar, jawabku,"Dapat food, anterin ke sana. Sudah narik berapa?"

"Baru satu, pak. Selama pandemik, order kebanyakan delivery. Penumpang hampir nggak ada"

kami ngobrol ngalor-ngidul. Hingga dering HP menganggu.

"Pak Aditama, saya Andreas". Suara diujung sana pelan.

"Hei, Andreas. Saya tunggu kabarmu. Sudah 3 bulan, kok baru hubungi sekarang?"

"Maaf, pak. Beribu maaf"

"Bagaimana? Bisa hubungkan dengan ayahmu. Aku ingin melihat wajah beliau"

Lama tidak ada balasan. Dengung suara masih menyala.

"Halo, Andreas..."

Masih saja tidak ada jawaban. Keheningan ini mirip suasana malam kala aku mencari para pengembara papa.

"Ayah sudah meninggal, pak". Suara Andreas disana merintih. Ada beban yang ingin ia keluarkan. Aku tercekat. "Barusan tiga hari yang lalu. Sekali lagi maaf, pak. Baru bisa memberi kabar sekarang"

lidahku kelu, dayaku hilang seperti dikunci.

"Ayah bahagia ketika amanatnya tersampaikan. Apalagi melihat foto bapak. Ayah tidak pangling. Cuma beliau bilang wajah bapak dipenuhi kerutan". Suara diseberang menggelontor lancar. Aku terpaku. Helaan napas hingga gestureku menarik perhatian rekan seprofesi.

"Semoga amal ibadah ayahmu diterima Tuhan, Ndre", lirihku pilu.Suara diseberang hanya berupa isak tangis-sedu sedan. Andreas menutup pembicaraan. Ia gagal menahan tumpahan airmatanya. 

Begitupun aku. Kabar barusan membuat diriku mematung. Pikiranku gentayangan mencari wajah pak Jauhari agar jelas terlihat. Sayang, semuanya kabur, menggelap, mirip malam yang sering aku lalui bersama kayuhan sepeda.[Selesai]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun