"Alhamdulillah.....", ada binar kebahagiaan pada raut wajahnya.
"Pak Jauhari adalah ayah saya"
Aku kaget. Ingatanku ditarik di tahun 1993. Masa itu menjadi ladang perjuanganku. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas(SMA) aku hijrah dari kota pedalaman Jawa Tengah melenting ke Jakarta. Hasrat ingin berhasil dalam karier meletupkan tekadku mengarungi belantara ibukota. Hingga aku melanjutkan pendidikan disebuah sekolah desain.Â
Disinilah aku bertemu pak Jauhari. Hubungan kami tidak dekat, biasa saja. Hanya, namaku mencuat diantara siswa lain angkatan sebelas, karena setiap tugas aku selesaikan dengan cepat dan sesuai kriteria. Pendidikan yang aku tempuh hanya satu tahun. Di purna pendidikan, tugas akhir memaksa aku mati-matian menuntaskan dengan maksimal.
"Karya yang kalian buat bisa diambil nanti di ruang G", ujar pak Jauhari.
Diantara karyaku, ada satu yang hilang. Sebuah logo untuk produk kemasan. Tapi aku tidak permasalahkan. Sampai akhirnya aku memutuskan pulang kampung. Bekerja pada perusahaan advertising hingga meletusnya tragedi '98.
"Ini amanat dari ayah, pak". Andreas meletakkan amplop coklat didepanku.
"Apa ini?"
"Didalamnya ada surat. Bisa bapak baca"
Aku membuka amplop. Keterkejutan menyentak, kala jemariku menarik lembaran putih menyembulkan gepokan  uang merah. Aku baca surat itu......
"Ayah merasa bersalah. Ia minta maaf. Semoga bapak mau memaafkan", kata Andreas."Uang tersebut sebagai pengganti atas kekhilafannya"