Celoteh-celoteh nakal kadang hinggap menusuk ditelinga. Gendang serbu memberi pantulan gelap berjejer menghantam wilayah pribadi. Ibu mengajarkan kami untuk selalu bersabar. "Anggap saja itu kidung cinta dari Tuhan buat kita"
Kehidupan makhluk bumi telah pada kitaran linimasa. Berhenti pada langkah keberapa makhluk itu tidak ada yang tahu. Semua tergenggam oleh-Nya. Kapan jatah kami mengakhiri petaka ini? Tuhan ternyata belum berkenan. Setahun dua tahun masih kurang bahkan tiga tahun belum menampakkan perbaikan.
Kumparan gelap kian sayang mendudukkan kami pada level melarat. Tepuk tangan gencar dari kubu penikmat adegan. "Tak perlu dikasihani! Tuhan benar sayang pada kelompok ini."
Bertahap pertolongan datang. Malaikat membisikkan perintah dari Tuhan pada individu-individu tertentu. Segenggam dua genggam marjan mengalir walau tidak tiap hari. Namun, itulah ujud Rahiim dan RahmatNya.
Betapa nikmat-Nya menghanguskan kesengsaraan. Kelaparan memberi bentuk buruk pada wajah pengidapnya. Tak ada gambaran cerah, yang ada hanyalah kemurungan menahan perih, cibiran, sorak-sorai. Bila lambung terisi padat, wajah akan sedikit sumringah. Tak perlu mikir besok yang penting nikmati berkat Tuhan saat ini. Kami tidak tahu masihkah ada kegembiraan selanjutnya. Yang jelas daripada esok dipelintir kelaparan penuhi lambungmu tanpa perlu ba-bi-bu.
Ibu pulang dari kotapraja berselimut duka. Mesin pencetak rupiah miliknya dijual tanpa pemberitahuan oleh "manusia dari desa belantara". Lunglai membara memegang amarah. Ujian dari Maha Kuasa terus bergulir. Rupiahnya hangus terhantam.
Hari-hari berikutnya kursi anyaman menemani kepahitannya jeda kejadian itu. Dilihat dari luar ia hanya mendiam. Tapi gelegak siapa yang tahu. Beberapa dari kami kadang mendapatkan ibu menangis sesenggukan.
Apa yang beliau tangisi sampai sekarang kami hanya menduga-duga. Yang jelas kami harus berteriak,"Hore!". Sebab, sahabat kami berlipat lagi: kelaparan! Marhabban ya kawan! Tidak heran ketika kami besar puasa Ramadhan merupakan hal yang ditunggu. Ibadah ini mengingatkan kami pada masa-masa rezim malaise bercokol.
Ibu berganti haluan jadi pejual sayur di kabupaten tetangga yang jaraknya 10 kilometer. Pasar itu cukup besar. Beliau pulang paling lambat jam 7 malam sampai rumah. Wajah beliau digelayut kelelahan. Ia kumpulkan kami dengan tradisi pembagian ransum. Sambil bercerita mengenai kondisi pasar tangannya menghitung gumpalan rupiah. Hanya bertahan beberapa bulan. Keuntungannya berceceran melawan masa layu sayuran.
Andai tempat usaha nenek tidak diungkit mungkin ibu masih berjaya. Soal warisan merupakan pemicu awal. Mau apalagi, bubur tidak bisa diubah menjadi nasi.
Beberapa menit lagi adzan Maghrib. Terawang diatas titian. Akhirnya kumandang meluncur dari horison. Ia seruput teh hangat racikannya. Warna coklat bening mengguyur lancar tenggorokan.