Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"I Love The Blue of Indonesia"

16 Mei 2018   12:38 Diperbarui: 16 Mei 2018   13:07 1787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah bagaimana, benak saya hari-hari belakangan ini diberondong kalimat,"I love the blue of Indonesia". Memori saya sepertinya dikelupas oleh kekuatan diluar diri untuk menyelami kembali tatahan kata-kata itu. Ya, kalimat tersebut tersampir menjadi lirik pada sebuah jingle iklan rokok Bentoel-made in Indonesia. Saya tekankan, saya BUKAN perokok. Jadi tidak ada maksud untuk kampanye rokok-apalagi untuk brand tersebut.

Di ketahui, iklan-dengan beberapa versi- yang ditayangkan tahun 1990-an memuat mozaik alam Khatulistiwa dengan berbagai adat budaya. Ini menarik.

Melihat sekaligus mendengar produk iklan bersama untaian kalimat yang dinyanyikan oleh Andy Williams 25-an tahun  yang lalu itu menjadi bahan perenungan mendalam akan kilatan-kilatan peristiwa yang telah menemani perjalanan bangsa ini-juga saya.

I love the blue of Indonesia kalau diterjemahkan hanyalah 'aku cinta biru Indonesia'. Sederhana memang, bahkan andai 3 kata 'the blue of' dihilangkan malah kalimat itu familiar banget-I Love Indonesia. Tercetak di segala jenis media: kaos, tembok, kaleng cat, jas hujan, topi, stiker, dan masih banyak lagi.

Bicara Indonesia adalah bicara tentang dinamika perjalanan bangsa dan negara.

Kita buka kitab sejarah berdirinya republik ini: Gemuruh penderitaan merayap pada setiap masa tatkala cengkeraman bangsa imperialis berhasil melakukan kolonialisasi.  Luka mendalam tergores dibumi pertiwi. Puluhan anak bangsa yang lahir dari rahimnya tersengat, tersinggung oleh perlakuan para petualang dari seberang lautan. Mereka ingin tancapkan kata, "Merdeka!"-lepas dari cengkeraman kaum pencoleng. Bahu membahu mengangkat senjata-apapun bentuknya-mengasahnya agar tajam guna membelah ketertiduran sesama anak bangsa yang "lelap terlalu lama".


Kolaborasi antara diplomasi dengan lontaran granat hingga muntahan peluru memberikan peringatan sekaligus shock terapy kepada penjajah serta dunia internasional bahwa republik Indonesia masih berdiri tegak. Semangat Sumpah Pemuda '28 terpahat mengalir diurat dada, berdentum,

"Kami putra dan putri Indonesia, bertanah air satu, tanah air Indonesia-berbangsa satu, bangsa Indonesia-Berbahasa satu, bahasa persatuan Indonesia"  

Indonesia negara besar. Besar dalam cakupan: besar negaranya-wilayah-penduduk-adat budaya-potensi yang terkandung disetiap lini-hingga besar konfliknya. Oleh karena itu, merawat Indonesia merupakan tugas wajib bagi anak- anak bangsa serta pondasi paling utama agar republik ini terus berkibar. Kesadaran itu harus selalu dipupuk agar keberlangsungan pemerintahan negeri ini berkesinambungan.

Angka 73 tahun bukan angka kecil. Jika di sandingkan umur manusia periode tersebut telah melampaui periode emas.

Tapi itu belumlah cukup sebagai parameter. Ribuan peristiwa mengapung menjadi batu uji buat kedewasaan dan ketangguhan anak-anak bangsa agar mampu menerjemahkan kandungan dari setiap jejaknya.

Indonesia bagian dari percaturan dunia, hal itu menimbulkan dampak atau konsekuensi. Kemolekannya sejak dulu mampu menjadi daya tarik bagi negara-negara lain untuk memetik keuntungan. Indonesia akan selalu dibuat sapi perahan oleh banyak pihak. Kalau dulu kasat mata penjajah menjarah khatulistiwa dengan strategi: dekati penguasa lokal dengan senyuman berlapis taring keserakahan-adu domba, jika gagal, siapkan pasukan-serang dan kuasai.

Sekarang mereka lebih luwes: kolaborasi dengan OKNUM anak bangsa untuk menguras habis semua yang ada di bumi pertiwi-itu sudah terjadi. Lain model, dengan korupsi disemua sektor kehidupan-dan itu kian menjadi-jadi.

Jangan heran, produk dari korupsi yaitu kemiskinan masih menjadi peta yang belum terhapus. Disparitas merupakan hal wajar, jadi terpelihara.

I love the blue of Indonesia menyentak memori saya tentang pelajaran masa kecil. Pelajaran tentang mencintai Indonesia tanpa syarat. Tentang bagaimana kerukunan antar anak bangsa diejawantahkan: menghormati orangtua sekaligus guru-guru sekolah, bermain lepas tanpa memandang ras, segera memaafkan jika berseteru,  atau tentang cerita berlembar-lembar; kaum pergerakan memaksimalkan kecerdasannya tatkala diinterogasi intel kolonial-mendebat setiap lawan dengan goresan ludah kemerdekaan.

I love the blue of Indonesia adalah ketika memandang hamparan sawah tertata elok dengan dipunggungi gunung. Petak-petak sawah tergenangi cairan langit memberi nyawa dibatang-batangnya. Pematang menerima dengan senang manakala kaki petani menjadikannya garis untuk ditapaki. Ketika musim panen tiba, reriuhan hadir mewarnai paras mereka. Canda tawa dibalut sendau gurau menjadi bumbu penyedap disela menyibukkan diri.

I Love The Blue Of Indonesia bisa juga berupa kesejukan yang melingkupi raga sembari selonjorkan kaki menapakkan tangan direrumputan. Belaian bayu menyisir bergumpal sejuk semilir.  

Menarikan kembali ragam kenangan masa lalu dipentas, untuk dijadikan perenungan.

Beberapa tahun belakang-2006 an-ketika puncaknya jelajah pakai motor, sebuah landskap mampu mengusik hati untuk menghentikan laju. Sebatang jalan antara Selo-Kabupaten Boyolali dengan Ketep pass-Kabupaten Magelang terasapi deru. Sebidang tanah lapang berumput menjadi magnet. Ketika cerah dan nirkabut terpampang jelas puncak Merapi. 

Gumpalan-gumpalan awan hanya sedikit yang tampak. Selebihnya langit biru dengan serentetan burung melakukan manuver. Berjama'ah mengepakkan sayap. Duduk santai menatap lekuknya. Hanya memanjakan mata, membebasliarkan pandangan untuk menikmati anugerah Tuhan. Dingin-dingin senyap melayang mendekap. Bau rumput basah meledak di ujung hidung. 

Seorang peladang terlalu asik hingga kehadiranku tak mampu menghentikan sejenak ketangkasan tangannya-menyiangi rerumputan. Capung beterbangan, bahkan ada yang mendaratkan diri di jaketku. Diam sejenak kemudian berjalan menuju kerah. Terbang pendek menempel di pipi melipir ke hidung-geli, tapi kubiarkan. Hingga akhirnya terbang panjang menuju sekelompok bunga.  Sungguh I Love the Blue of Indonesia.

Negeri ini sungguh menarik-indah menawan. Bahkan ada yang bilang secuil surga telah diletakkan Tuhan di zamrud katulistiwa. Mencintai Indonesia ibarat mencintai orangtua-membuahkan kenikmatan tersendiri.

I Love The Blue Of Indonesia

It's the flavour in the air

I love the blue of Indonesia

You can taste it everywhere....

I love the blue of Indonesia

It's the kind of blue....

Jadi, jika masih ada beberapa kelompok sempalan ingin mengubah pondasi republik Indonesia perlu kita lawan. Rapatkan barisan demi NKRI.

Upaya mereka untuk merealisasikan niat harus diberangus. Apapun dalihnya. Walaupun mereka menyebut, ini perjuangan jaman now. Jangan sangkut pautkan dengan era nenek moyang. Inilah perjuangan menuju arah lebih baik.

Arah lebih baik? Melawan kawanmu otomatis bangsamu, kalian sebut perjuangan? Itu perjuangan goblok.

Dampak dari itu adalah pertikaian fisik. Artinya, ribuan bahkan jutaan nyawa bisa melayang. Huru hara merebak. Kalian siap dengan segala konsekuensinya? Yakin? Bukankah kehabisan kuota internet saja bengak-bengok-uring uringan tidak karuan. Apalagi menghadapi peperangan? Dan yang kalian perangi tetanggamu sendiri, karibmu. Situ waras?

Burundi satu contoh saja. Negara kecil dan miskin dibenua Afrika ini luluh lantak oleh huru hara antara etnis Hutu dan Tutsi. Awalnya, konflik bersifat politis, namun akhirnya menjadi konflik etnis.Ribuan orang-perempuan, laki-laki, anak kecil-terbantai. Darah beserta ceceran serpihan tubuh berserakan. Pagi hari masih menikmati canda tawa bersama handai taulan, siangnya sudah terpanggang diantara kobaran api yang dibuat pihak lawan. Bau daging terbakar bersama darah menghadirkan aroma yang bikin muntah.

Contoh lain, konflik suku Dayak dengan orang Madura (ini mengerikan), kemudian konflik Ambon. Yang begini jangan sampai terulang.

Jangan sok pamer idealismu yang kalian anut bersama gerombolanmu. Sebuah peperangan tidak akan selesai satu dua hari. Bisa bertahun-tahun. Itu menghabiskan stamina, biaya yang tak terhitung. Dan itu sinting!

Sebuah Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kita digariskan tumbuhkembang di jajaran pulau-pulau yang bernama Indonesia. Patut kita syukuri.

Banyak manusia digariskan hidup didaerah penuh konflik. Kepulan asap mesiu sudah dianggap kabut pegunungan, darah berceceran bak anggur dimusim dingin, potongan tubuh dianggap bunga sakura terpelanting, teriakan serta rasa cemas lapisan tipis yang menyelubungi hari-hari mereka.

Jika kewarasan masih diunggulkan, saya percaya, orang-orang akan memilih hidup damai. Keserakahan,Keegoisan, kebodohanlah yang menyumbang terjadinya konflik.

Merdeka! Salam damai jaga kewarasanmu.[]  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun