Artinya, sang pimpinan negara hanya mengungkapkan perasaannya karena sadar tidak dapat melakukan tindakan apapun dan menunggu perang berakhir. Namun, mengapa bukan memilih untuk berteriak menolak perang lalu menjual rencana penyelesaian di wadah resmi seperti PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), bukankah PBB dibuat sebagai wadah agar setiap negara kecil sekalipun mempunyai hak suara yang sama.
Nampaknya memang pemilihan diksi "prihatin" sudah mendarah daging di kancah politik internasional dan lokal, sehingga lama-kelamaan dipilih menjadi diksi paling aman ketika seorang politikus diserang media secara mendadak.
Namun, pemilihan diksi "prihatin" tanpa memperhatikan konteks masalah akan menyakiti moril publik yang menunggu metode penanggulangan atas sebuah kejadian luar biasa.
Pemimpin dan gaya berkomunikasi
Pemilihan diksi dalam konteks politik memang menjadi hal yang sangat penting, memilih diksi yang selalu terlihat baik memang juga seringkali dilakukan agar terlihat santun walaupun aslinya beracun, namun bagaimanapun pemilihan diksi akan tetap menjadi tolak ukur untuk mengetahui keseriusan seseorang dalam merespon sebuah kasus. Â
Seorang pemimpin yang dipilih untuk menjabat suatu bidang apapun nampaknya juga harus sadar benar untuk memperhatikan diksi yang berlaku saat membangun komunikasi.
Ketidakpastian, dalam menyampaikan sesuatu akan menjadi bencana bagi setiap pemimpin, namun pemimpin pun tidak boleh disandera dengan keharusan membangun diksi yang baik. Jadi, pembuktian nyata dilapangan adalah kunci terhindar dari setiap ketidakpastian diksi yang dibangun.