kamis (2/7/2020), KPK menggelar Operasi tangkap tangan di sebuah hotel di Jakarta dan menetapkan 5 (lima) tersangka diantaranya bupati kutai timur Ismunandar dan istrinya (ketua DPRD kutai timur) sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait proyek insfrastruktur.
Dengan ditangkapnya Ismunandar maka terhitung sudah KPK telah 3 (tiga) kali menangkap bupati kutai yang terjerat kasus korupsi , yaitu mantan  bupati Kutai (sebelum pemekaran) Syaukani Hasan rais (2006), mantan bupati kutai timur Rita Widyasari (2017). Sebagai informasi tambahan, bahwa Rita merupakan anak kandung dari mantan bupati Syaukani.
Merespons kasus penangkapan Ismundar, Gubernur Kalimantan timur, Isran Noor mengatakan bahwa ia merasa prihatin atas berita penangkapan tersebut sebagaimana diutip dalam kompas.com 3/07/2020.
Diksi "prihatin" cukup mengerikan jika dijadikan bagian dari respon atas tindakan kriminalitas yang terus menerus berulang dalam kurung waktu 15 tahun terkahir.
Nampaknya, akan lebih waras jika, seorang pemimpin dapat memberikan respon yang lebih komperhensif untuk menanggapi kejadian yang dikategorikan sebagai extra-ordinary crime
Diski Prihatin dalam kontenstasi politik
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata prihatin diartikan sebagai: 1) bersedih hati, waswas, bimbang (karena usahanya gagal, mendapat kesulitan, mengingat akan nasibnya, dan sebagainya), 2) menahan diri, bertarak. Artinya, "prihatin" hanya menggambarkan tentang perasaan seseorang yang sedih akibat suatu hal yang terjadi.
Menyambung respon gubernur Isran noor yang lebih memilih diksi "prihatin" untuk merespon kasus korupsi, maka dapat dikatakan bahwa Ia hanya menggambarkan kesedihan hati tanpa bisa menjelaskan tindakan apa yang diambil lebih lanjut, atau memang tidak mengerti harus melakukan apa dan atau tidak ada keseriusan untuk melihat hal tersebut sebagai tindakan yang butuh penangan khusus.
Sangat disayangkan jika diski "prihatin" dijadikan sebuah respon atas tindakan yang seharusnya bisa diupayakan untuk ditanggulangi, terlebih visibilitas untuk mencari akar masalah sudah pasti ada karena terjadi berulang-ulang pada tempat dan bahkan pola yang sama.
Dalam kontestasi politik dunia, kata "prihatin" juga sering dipilih sebagai diksi terbaik untuk menjawab respon atas ketegangan politik internasional seperti misalnya pimpinan negara-negara berkembang yang beramai-ramai dilayar kaca mengungkapkan keprihatinan atas korban sipil yang tewas selama perang terjadi antara negara A dan negara B.
Artinya, sang pimpinan negara hanya mengungkapkan perasaannya karena sadar tidak dapat melakukan tindakan apapun dan menunggu perang berakhir. Namun, mengapa bukan memilih untuk berteriak menolak perang lalu menjual rencana penyelesaian di wadah resmi seperti PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), bukankah PBB dibuat sebagai wadah agar setiap negara kecil sekalipun mempunyai hak suara yang sama.
Nampaknya memang pemilihan diksi "prihatin" sudah mendarah daging di kancah politik internasional dan lokal, sehingga lama-kelamaan dipilih menjadi diksi paling aman ketika seorang politikus diserang media secara mendadak.
Namun, pemilihan diksi "prihatin" tanpa memperhatikan konteks masalah akan menyakiti moril publik yang menunggu metode penanggulangan atas sebuah kejadian luar biasa.
Pemimpin dan gaya berkomunikasi
Pemilihan diksi dalam konteks politik memang menjadi hal yang sangat penting, memilih diksi yang selalu terlihat baik memang juga seringkali dilakukan agar terlihat santun walaupun aslinya beracun, namun bagaimanapun pemilihan diksi akan tetap menjadi tolak ukur untuk mengetahui keseriusan seseorang dalam merespon sebuah kasus. Â
Seorang pemimpin yang dipilih untuk menjabat suatu bidang apapun nampaknya juga harus sadar benar untuk memperhatikan diksi yang berlaku saat membangun komunikasi.
Ketidakpastian, dalam menyampaikan sesuatu akan menjadi bencana bagi setiap pemimpin, namun pemimpin pun tidak boleh disandera dengan keharusan membangun diksi yang baik. Jadi, pembuktian nyata dilapangan adalah kunci terhindar dari setiap ketidakpastian diksi yang dibangun.