Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bongaya

6 April 2016   10:33 Diperbarui: 6 April 2016   21:47 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Cerpen Roman Rendusara

Saya adalah Bongaya, bocah laki-laki kampung di bukit Dhajawawo. Saya hidup bersama dua saudari perempuan dan ibu. Saya bungsu. Ibu memberi perhatian lebih pada saya, bisa jadi karena saya laki – laki tunggal, pengganti ayah, yang sudah lama pergi untuk selamanya. Kata Vero, saudari sulung saya, ayah pergi tanpa kubur, penuh misteri kehidupan dan kematiannya. Pusara tak selalu memberi tanda adanya jasad.

Mungkin juga dengan kelahiranku sebab Ibu terlihat mati kutuk ketika saya bertanya soal ayah. Dan mengapa saya dikasih nama Bongaya? Saya tidak tahu. Entah karena saya bocah, tambun dan menggemaskan.

Kami tinggal di pojok kampung, dekat pohon beringin besar. Mungkin karena itulah orang – orang sekampung memanggil ibu saya, ‘Zeze’, yang berarti pohon beringin. Juga dalam arti yang lain, ‘zeze’ berarti mendengarkan.

Pohon beringin itu sangat rimbun. Daun selalu menghijau tak kenal musim. Beringin itu kehidupan. Salah satu tumbuhan yang menghasilkan air, memberi kehidupan kepada yang lain, hewan dan tumbuhan, termasuk manusia. Itulah ‘zeze’.

Sang Ibu seorang pekerja keras. Kuat. Tahan banting. Meski serbuan gosip tak sedap menghadang, dengan mudah dipatah-remukkannya. Cucuran keringat dan airmatanya, mengantar kami bertiga berhasil dibesarkan. Perempuan bisa menjadi tulang punggung. Dua kakak sulung saya menyabet gelar sarjana. Sedangkan saya numpang duduk sebentar saja di bangku semester pertama kampus swasta di kota rahim Pancasila. Cepat – cepat kembali ke kampung, sebab ibu menghembuskan nafas terakhir.

Sepuluh hari setelah penguburan ibu, saya terpekur di gubuk rapuh. Gelar strata satu berubah suram berganti yatim piatu. Orang – orang sekampung datang menyerunduk. Sepetak kebun kelapa diberi tanda silang merah. Kebun kemiri dipelintir menjadi milik ‘pribumi’. Sejarah adalah catatan orang rakus. Keluarga saya bukan asli dari sini, itu kata mereka, kami aslinya dari kampung di sebelah bukit sana, sana dan di sananya lagi, tidak punya hak warisan di kampung ini.

Pengadilan adalah jalan kemustahilan. Hukum mendengar suara mayoritas. Kebenaran selalu cepat dibawa mati. Seperti ibuku pergi secepat kilat menyampar, tanpa sakit yang akut. Saya bersembah sujud memohon petunjuk sebab kejujuran milik orang mati. Jika tidak, harus mengaku kalah sementara waktu. Bila perlu menjauh adalah perjanjian damai yang sesaat.

***

Ketika merantau bertahun-tahun di Kalimantan. Lalu memilih kembali pulang. Saya baru tahu, mengapa bapa guru Lengi dulu memberi nama saya Bongaya, ketika saya kehilangan segala-galanya; lahan tanah garapan sudah diakui hak milik orang lain. Saya adalah Bongaya, perjanjian damai sesaat dan sesat ketika Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dipaksa mendeklarasikan kekalahannya kepada VOC (pihak Hindia Belanda) pada 18 Nopember 1667.  Semua menjadi milik koloni (penjajah).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun